"Kamu mau bunuh aku, ya?" Tangan mungil itu menggeplak kuat bahu lelaki di depannya tanpa ragu. Usai menginjakkan kaki di lantai batako parkiran kampus tadi, matanya bahkan belum berhenti melotot lebar, laser bak keluar dari sana.
Bagaimana tidak? Ia baru saja dibonceng sang empu motor secara ugal-ugalan dengan kecepatan 100 km/jam di jalan raya. Tentu, dengan manuver-manuver gilanya. Meskipun bisa dibilang ahli, tetap saja Gati was-was bila dihadapkan versi kumatnya seorang Janggan. Ayolah, jalan raya bukan sirkuit tempat biasa sang sohib sejak piyik berkompetisi.
Namun, Janggan tetaplah Janggan. Bukannya merasa bersalah, pemuda 19 tahun itu justru terkekeh seraya menyandarkan tubuh pada motor trail-nya. "Ayolah, Gat. Nggak sehari dua hari aku naik motor. Buktinya banyak medali mejeng di dinding kamar."
"Arek iki jan edan tenan! Izrail nek arep sambang iki ora leren ngitung medalimu, Cuk!" (Orang ini memang gila banget! Izrail kalau mau sambang itu nggak tunggu menghitung medalimu!)
"Eits, mulutnya!" Janggan ikut menggeplak kecil bibir Gati dengan sarung tangannya yang sudah dilepas, membuat Gati mengaduh. "Kulaporin Mas Gale kamu, ya!"
Decakan lolos dari bibir Gati. "Dasar tukang ngadu!" cibirnya.
"Punya privilege ngadu, kenapa nggak?" Janggan mengakhiri kalimatnya dengan tawa, lagi. "Lagian sejak kapan Izrail sambang? Menurut kamu, Izrail tuh cuma dateng waktu mau cabut nyawa kita?"
"Loh, iya dong!" Gati membalas sengit, tangannya yang semula bebas di sisi tubuh sudah terlipat di depan dada. Kepalanya mendongak angkuh dengan sebelah alis terangkat tinggi. Beberapa saat hanya mendapati sunggingan senyum miring Janggan, perempuan berambut ikal itu mulai kehilangan percaya diri, meragukan kalimatnya sendiri. Mengurai lipatan tangan serta mengatur posisi kepala seperti semula perlahan, Gati kembali angkat bicara, "Kenapa ekspresi kamu gitu? Emang ... nggak?"
Janggan menggeleng pelan. "Pada dasarnya entitas Izrail selalu ada bersama kita, mengikuti langkah kita. Saat perlahan entitas Izrail pergi, di situlah kita berpindah alam. Jadi, bukan mencabut secara harfiah."
"Kata siapa kali ini?" Gati memicingkan mata, sedikit awas sebetulnya.
"Guru Tasawufku," balas Janggan santai, "buruan, kelasmu udah mau mulai, kan?!"
Meninggalkan Gati di samping motornya, Janggan melangkah mantap menuju gedung fakultas. Sedikit menyungging senyum sebab tahu di belakang punggungnnya perempuan itu tengah mengumpat.
-o0o-
Jum'at berkah untuk publish cerita baru yang semoga juga berkah. Omong-omong, di kalangan para sufi, Izrail memang nggak datang secara harfiah pas nyabut nyawa aja. Izrail itu juga membersamai kita selalu, layaknya Rakib sama Atid. Jadi dalam sufistik, ketika Izrail pergi dari kita, di situlah raga dan ruh kita berpisah.
Untuk jadwal update, sementara ini kuusahakan seminggu sekali tiap hari Jum'at. Semoga ke depannya bisa lebih sering. Enjoy.
Jepara, 19 Januari 2024
Amaranteya
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
Fiksi UmumDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...