Satu lagi bantal sofa terlempar ke arah Langgeng, kali ini tepat mengenai wajahnya. Menghadapi amukan Gati cukup merepotkan, anak itu masih terbilang childish untuk hal semacam ini.
Usai meminta Gati ke ruang tamu kos, Langgeng seolah langsung dikuliti Gati hidup-hidup lewat tatap mata sebab mendapati Janggan di ruangan yang sama. Sudah ia bilang, Gati tak tahu jika lelaki itu memberitahu Janggan.
"Ah, males aku Mas sama kamu. Dibilang jangan cepu dulu, malah ngundang Janggan terang-terangan," cibir Gati yang kedua kali. Bibirnya sudah memberengut tak karuan dan tak henti melempar tatapan sinis pada Langgeng.
Langgeng tak mau ambil pusing, membalas santai, "Gue udah bilang, I've my own boundaries, dan 24 jam udah lebih dari cukup. Coba dengerin Janggan ngomong dulu, ngamuknya ntar lagi. I'll give you both space to talk, kalau ada apa-apa, gue di depan. Udah lama nggak ikut ngobrol anak-anak kos di bawah pohon."
Spontan tangan Gati terlipat di depan dada, setuju mendengarkan meski tak mengatakan apa pun.
Janggan sendiri masih menatap perempuan itu dengan sorot sedih, menekuri pahatan demi pahatan Tuhan di wajah Gati dari samping. Dulu, mata itu selalu penuh binar, berapi-api tiap dihadapkan pada hal baru. Namun sekarang, rasanya Janggan hampir tak pernah lagi melihatnya, sorot mata Gati lebih sering diselimuti amarah, kebencian, dan saat ini, ia dapat merasakan jejak putus asa yang kentara.
"Maaf," lirih Janggan dengan bibir bergetar. "Maaf."
Gati menoleh dan seketika terhenyak mendapati Janggan memandangnya dengan mata berkaca. "Ngapain kamu minta maaf?"
Janggan hanya menggeleng lemah, lantas mengalihkan, "Gat, pulang, ya?"
Decakan keras langsung lolos dari bibir Gati. "Kalau nggak ada yang mau kamu omongin lagi, mending kamu pulang."
"Gat, semua orang rumah khawatir sama kamu, bahkan dari semalem Mas Gale sama Mas Gelar nggak tidur, mereka nggak berhenti cari kamu. Pulang, ya?" bujuk Janggan.
Tangan Gati terkepal kuat sedang matanya memejam erat. Ditahannya gemuruh dalam dada yang tiba-tiba datang. "Ja, please, mending kamu balik sendiri."
"Gat ...." Janggan mulai frustrasi.
Begitu membuka mata, Gati langsung menoleh ke arah Janggan dan menatapnya tajam, membalas penuh penekanan, "Kamu nggak denger omongan aku?"
Embusan napas panjang lolos dari bibir Janggan. "Oke, kamu mau di sini sampai kapan? Seenggaknya selama itu aku bisa cari alasan biar keluarga kamu nggak khawatir."
"Aku nggak tau." Suara Gati melemah. "Mungkin sampai aku nggak marah lagi kalau lihat Ibuk."
"Dan itu sampai ...," kejar Janggan.
"Mana aku tahu!" ketus Gati.
"Apa sih masalahnya? Biasanya juga kamu cekcok sama Budhe Rukmi nggak sampai kayak gini. Mereka beneran khawatir sama kamu, Gat. Mungkin Budhe Rukmi emang keterlaluan, tapi tetep aja. Coba kamu bayangin, anak perempuan yang selama ini selalu ada dalam pengawasan mereka, tiba-tiba pergi dari rumah tanpa jejak. Semarah-marahnya Budhe, beliau tetap ibu yang sayang sama kamu."
Gati terkekeh, kentara sekali ada nada meremehkan yang ia berikan untuk statement Janggan. "Khawatir? Kamu nggak ada di sana waktu Ibuk ngeluarin sumpah serapah ke aku, Ja. Kalau emang khawatir, kenapa Ibuk nggak mikir dulu sebelum ngomong? Kenapa Ibuk nggak pertimbangin omongan itu bakal nyakitin aku atau nggak? Dan kenapa mereka diem aja waktu Ibuk ngutuk aku? Kenapa?"
Sekali lagi kekehan lolos dari bibir Gati, sebelum tangis tumpah meski tanpa suara. "Kamu nggak tahu kan, apa yang diomongin Ibuk ke aku sampai aku milih pergi kayak gini? Bener, mereka pasti nggak ada yang berani kasih tahu kamu, nggak dengan Mas Gale, Mas Gelar, apalagi Romo. Mereka cuma bakal biarin kamu menganggap bahwa aku yang sepenuhnya salah, aku yang bodoh karena bertindak impulsif dan akhirnya merugikan diri sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
Fiksi UmumDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...