18. Tak Selamat

80 13 2
                                    

Hari ini Gumelar pulang, mendapat jatah libur. Sudah sejak pagi Gati sibuk dengan alat-alat dapur, tanpa terpaksa kali ini. Membuat brownies untuk sang kakak sulung.

"Rajin banget, mentang-mentang Mas Gelar mau pulang," sindir Gale begitu memasuki dapur. Di tangannya sudah penuh baju kotor yang siap dimasukkan ke ruang cuci di sisi kiri. "Aku aja nggak pernah dibuatin."

"Jangan rese' deh, Mas. Udah sana nyuci aja," usir Gati seraya mendorong bahu sang kakak. 

Sambil memasukkan baju kotornya ke mesin cuci, Gale bertanya, "Masalah kamu sama Janggan kemarin-kemarin gimana? Udah clear? Kok dia nggak pernah main ke sini lagi, sih? Mas ajakin mabar juga sibuk katanya."

Gati sempat membeku untuk beberapa saat, tetapi segera menguasai diri. "Nggak tahu, dia belum bilang maafin aku. Lagian Janggan iki pancen sibuk, Mas. Kan bentar lagi ada event track, jangan kebanyakan disuruh nemenin mabar, dong!"

"Ya kali latihan track sampai malam," beo Gale, "dia marah kenapa sih emang? Kamu buat ulah apa lagi?" lanjutnya.

Desisan Gati lolos sedang tangannya sibuk mencuci wadah kotor sisa adonan. "Seolah aku banyak bikin ulah aja," cibirnya.

"Dek, Mas serius." Lelaki  itu sudah menyandarkan setengah badan ke mesin cuci, menatap Gati lekat dari sana. "Bukannya Mas mau ikut campur urusan kamu sama Janggan, tapi selama ini Janggan nggak pernah yang sampai musuhin kamu kayak gini. Aneh banget, jadi udah pasti kesalahan kamu yang kelewatan."

Kran wastafel ditutup Gati seketika. Perempuan itu ikut menghadap ke arah sang kakak. "Mas bakal kecewa banget sama orang kira-kira karena alasan apa?"

Gale memiringkan kepala, memutar mata hingga melirik ke kanan atas. "Dikhianatin ... versi lite-nya mungkin dibohongin. It's the worst thing ever. Kenapa? Kamu bohongin Janggan?"

Bahu Gati turun seketika, lemas. Ia menghela napas panjang dan menggigit bibir bawah. "Em ... bisa dibilang begitu," lirihnya, "gimana caranya biar dia maafin aku?"

Gale berdiri tegak, mulai berjalan dan berakhir duduk di stool kitchen island. "Mas nggak bakal kepo kamu udah bohongin Janggan masalah apa, tapi Mas pikir, selama kamu minta maaf secara tulus, it's done. Udah jadi urusan dia mau maafin atau nggak. Meskipun dia juga temen Mas, tapi Mas tetep nggak rela kalau kamu sampai ngemis-ngemis maaf ke dia."

Ingat tindakannya sebelum meninggalkan kamar Janggan tiga hari lalu, Gati menggigit bibir bawah kuat, lantas bergumam, "Jadi tindakan aku sore itu salah?"

"Kamu ngapain emang?" Gale berubah awas, tahu bahwa sang adik suka melakukan hal di luar perkiraan.

Perempuan itu meringis lebar ke arah Gale, mengiba sejujurnya. "Jangan marah ya, Mas. Aku lagi nggak berniat bohongin Mas soalnya, trauma."

Gale mengangguk ragu, dalam hati membatin, "Tergantung."

"Gini." Gati ikut duduk, menautkan tangan di atas meja, sedikit mencondongkan tubuh seolah tak ingin ada yang mendengar ucapannya selain Gale. "Sebelum balik hari itu, aku refleks nyium pipi Janggan."

Mata Gale melotot dengan rahang bawah jatuh seketika. "Kamu gila, Gati Rukma!" sembur Gale.

"Tuh kan, Mas marah," desah Gati.

Gale berusaha mengatur napas dengan memejamkan mata sejenak. Ia lantas mengacak rambut kasar. "Kamu kenapa barbar banget sih, Gat? Ya pantes aja Janggan makin hindarin kamu. Ini kalau sampai orang rumah denger, udah abis disidang kamu, Dek."

"Kan aku wes ngomong tho Mas, refleks. Nggak sadar." (Kan aku sudah bilang, Mas)

Gale masih ingin mencak-mencak sendiri. Adiknya sangat teledor. "Untung kamu nggak diterkam sama dia."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang