29. Raden Langgeng Tejawulan

64 12 7
                                    

"Kamu belum ada kabar tentang Gati?" Pagi-pagi sekali Gale sudah nongkrong di depan pintu kamar Janggan, menodong tanya sebab sejak kemarin siang keduanya tak berkomunikasi. 

Setengah terkejut, Janggan menjawab ragu, "Kemarin abis latihan aku langsung tepar, Mas."

Semoga saja Gale menerima jawabannya yang setengah tak nyambung itu. Lebih baik begini daripada berbohong.

"Cowok itu juga belum ada kabar?" tanya Gale lagi, berharap mendapat jawaban memuaskan. 

Sayang, Janggan hanya menggeleng lemah, setengah ragu. 

Gale mengusap wajah kasar, bergumam lirih, "Terus kita harus gimana, Ja? Mungkin aku bisa berusaha percaya kalau Gati bisa jaga diri di luar sana, tapi aku nggak tega lihat Ibuk sama Romo. Mereka kelihatan terpukul banget, di samping kecewa sama Gati."

Kilas balik obrolannya dengan Gati mengusik seketika. Gati benar, baik dirinya maupun keluarga perempuan itu tak mempertimbangkan perasaan Gati sama sekali.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Janggan, lelaki itu lantas berbalik setelah membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Gale masuk. Usai duduk di kursi depan meja, Gale langsung menyusul dan berbaring telentang di kasur Janggan.

Untuk sejenak Janggan tampak berpikir, sebelum berujar, "Mas pernah kepikiran nggak, kalau Gati bener-bener butuh space dari kalian? Atau ... Mas pernah mikir nggak, justru dengan adanya masalah ini Gati jadi punya kesempatan buat sekedar bernapas dengan lega, nggak lagi tercekik? Jauh lagi, Mas pernah nggak, sepenuhnya mikirin Gati saat dia berantem sama Budhe Rukmi?"

"Maksudmu apa, Ja?" Gale buru-buru bangkit, duduk tegak sedang matanya menatap awas Janggan yang kini mengembuskan napas panjang.

"Aku paham kalian semua khawatir sama Gati, aku pun sama, tapi setelah aku renungin, selama ini kita nggak pernah bener-bener mengerti dia, Mas. Kita fokus mikirin gimana caranya biar Gati nggak dianggap berontak sama Pakdhe dan Budhe. Kita fokus mikir gimana caranya Budhe maafin Gati dengan bujuk dia supaya mau ngelakuin apa yang Budhe mau dengan alasan ada hikmah di baliknya.

"Aku ... tanpa sadar aku sering minta Gati buat lebih sabar ngadepin Budhe, minta dia ngalah dengan alasan 'bagaimanapun Budhe adalah seorang ibu yang nggak boleh dilawan apa pun situasinya'. Bahkan, Mas Gale juga sering kan, hukum diri sendiri tiap Gati diperlakuin nggak adil sama Budhe, yang akhirnya apa? Gati yang lagi-lagi harus ngalah biar Mas nggak lagi ngerasa bersalah, dan mau nggak mau, Gati juga yang harus menerima omelan Budhe pada akhirnya."

Tangan Gale terkepal kuat, mukanya merah padam. Sebab rahangnya juga mengetat, urat leher lelaki itu terlihat jelas.

Janggan bukannya tak sadar bahwa ekspresi Gale berubah, tatapannya menajam dengan kilat amarah, tetapi ia belum mau berhenti, melanjutkan, "Kita akui aja, Mas. Selama ini kita yang terlalu egois, pura-pura dukung Gati padahal ikut memaksakan kehendak Budhe Rukmi sama dia, tanpa sadar kita setuju kalau Gati adalah bonekanya Budhe."

"Jangan keterlaluan, Ja!" tekan Gale seraya berdiri, napas lelaki itu sudah memburu. "Meskipun mungkin caranya kurang tepat, tapi aku yakin yang dilakuin Ibuk itu demi kebaikan Gati. Gati itu adik aku, Ja. Anak perempuan Ibuk satu-satunya, tapi dari omongan kamu seolah kamu bilang kalau ibu aku nggak memperlakukan Gati sebagai manusia."

Janggan ikut berdiri, menatap Gale tak kalah tajam. "Ini kenyataannya, Mas! Selama ini Gati dituntut ini-itu, tapi apa pernah Mas Gale sama Mas Gelar diperlakukan kayak gitu? Nggak! Kalian selalu diprioritaskan. Bahkan saat kayak gini, yang Mas pikirin adalah betapa kecewanya Budhe dan Pakdhe, betapa khawatirnya mereka, betapa terpukulnya mereka. Sedikit pun, di kepala Mas, apa nggak ada pikiran betapa kecewanya Gati, betapa terlukanya dia."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang