Gati keluar dari ruang kerja sang romo dengan langkah gontai, pandangannya kosong. Belum mencapai sekat pemisah ruang keluarga, ia berhenti lantas mengacak rambut panjang terurainya hingga berantakan. "Belum kelar masalah kemarin, malah tambah lagi," desahnya.
"Dapat hukuman apa kali ini?"
Gadis itu mengangkat wajah, mendapati Janggan sudah berdiri menyandar pada dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Pandangan lelaki itu amat datar tersorot ke arahnya. Bahkan, mata Gati yang mulai berkaca tak sedikit pun mempengaruhi Janggan.
"Kamu nggak bisa bantuin aku bujuk Romo apa, Ja?" lirih Gati, yang hanya mendapat respons berupa kedikan bahu. "HP, tablet, uang jajan, semua fasilitas aku ditarik."
"Urusan kampus?" tanya Janggan segan.
"Disuruh minjem kamu, di bawah pengawasan kamu," jawab Gati sedikit kesal, "makanya kamu jangan marah lagi sama aku, Ja. Tambah ruwet yang ada."
Tak ada niatan sama sekali bagi Janggan untuk membalas, hanya menatap Gati lamat.
"Ja?" Gati mengiba.
"Jangan coba cari perlindungan, Dek," serobot Gelar yang berjalan begitu saja melewati keduanya, berniat ke belakang. Ia juga kesal dengan sang adik, sungguh.
"Terus Mas maunya gimana?" Suara bergetar Gati membuat langkah Gelar terhenti, gadis itu lantas berputar 180 derajat, menatap punggung sang kakak sulung tajam. "Mas nyuruh aku ngesot ke kampus? Tanpa fasilitas yang Romo kasih mungkin aku bisa, Mas. Tanpa Janggan ... kalian benar-benar bunuh aku namanya. Berkat siapa kayak gini? Aku nggak bisa apa-apa karena serba dilarang sejak kecil. Aku bisa apa tanpa Janggan kalau kalian bahkan nggak mau bantu? Nggak sekalian aja aku berhenti kuliah? Biar totalitas diem di rumahnya. Mas, bukan keinginan aku buat bergantung sama Janggan kayak gini."
Satu bulir air mata jatuh, disusul pipi kanananya yang basah. Tanpa berkata lagi, Gati berbalik dan pergi dari sana: keluar rumah. Barangkali berjalan tanpa arah seperti malam itu adalah pilihan baik kali ini.
Melewati ruang keluarga di mana Gale masih duduk manis, Gati membuat lelaki itu mengerjap.
"Gat, kamu mau ke mana?" Suara Janggan menyusul, sebelum tampak sepenuhnya sosok berkaos abu tersebut.
Sekali lagi, Gale dibuat semakin bingung. Hendak menghentikan Janggan yang tampak serius menyusul adiknya pun membuat Gale urung. Alhasil, ia menahan rasa penasarannya dalam-dalam.
Di luar rumah, tepat selangkah di luar pendopo, Gati menghentikan langkah. Tanpa berbalik ia berujar, "Kalau kamu masih marah sama aku mending nggak usah ngikutin. Itu buat aku makin ngerasa buruk, Ja."
Gati tak mendengar pergerakan apa pun dari Janggan di belakangnya. Merasa tak akan mendapat balasan, ia melanjutkan, "Aku bener-bener lagi nggak minat debat sama kamu jadi--"
Tubuh Gati terdorong ke depan begitu sebuah tangan melingkupi bahunya, menuntunnya melanjutkan langkah. Mata gadis itu sampai melotot mendapati Janggan dengan santai merangkul, seperti yang pernah dilakukan Langgeng.
"Kalau aku yang kayak gini, Pakdhe Wira nggak akan marah. Bet me!" Janggan sungguh membawa Gati ke rumahnya, sebelum meninggalkan gadis itu kebingungan di garasi. Saat keluar, ia sudah membawa kunci motor, pun tubuhnya sudah dibalut jaket semi-kulit berwarna hitam.
Melihat mata Gati masih sembab, Janggan mendekat. Ia berdiri tepat selangkah di depan perempuan itu, mengulurkan sebelah tangan dengan seulas senyum tipis. Diusapnya sisa air mata Gati tanpa segan sebelum berujar, "Aku benci weruh kowe nangis, Gat. Mending ikut aku hari ini, how?"
Gati ... tidak bisa berkata tidak, kan? Setidaknya, ia tidak sendirian.
-o0o-

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
Tiểu Thuyết ChungDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...