7. Wanita--Wani Ditata

82 20 11
                                    

"Beda, Gati! Kamu dan Dree itu berbeda!"

"Apa bedanya, Buk?" balas Gati sengit, sedang yang lain bungkam.

"Kamu punya tanggung jawab mempertahankan dan meneruskan silsilah keluarga kita. Dua mas kamu itu laki-laki, mereka bisa bebas memilih perempuan untuk dijadikan pendamping, tapi kamu perempuan, Gati. Kamu tidak bisa memilih, justru kamu yang harus dipilih. Kamu itu wanita, untuk itu kamu perlu menjadi perempuan yang wani ditata, penuh unggah-ungguh, lemah lembut. Dree boleh ke sana kemari karena spirit kalian berbeda, dilahirkan dengan orientasi berbeda. Nantinya kamu hanya perlu melayani suamimu dengan baik, menjaga marwah keluarga dan mempertahankan tradisi-tradisi itu sendiri. Kamu tidak perlu pergi jauh-jauh, tidak boleh. Tugas kamu nantinya ya berada di rumah, menjadi Nyonya Rumah."

Gati mengepalkan tangan kuat-kuat di atas pangkuan. Empat orang yang lain termasuk Wira pun tampak terkejut dengan ucapan Rukmi.

"Jadi maksud Ibuk aku cuma boleh jadi budaknya suami aku nanti? Jadi bayangan laki-laki yang bahkan keberadaannya antara ada dan nggak ada? Maksud Ibuk aku cuma bakal jadi tawanan yang udah dibeli pakai mahar, iya? Bullshit, mending aku nggak nikah sekalian daripada cuma jadi keset selamat datang di depan pintu rumah."

"Gati!" sentak Rukmi seraya melotot.

Kacau.

"Perempuan bukan barang, Bu. Aku bukan barang. Terserah Ibuk mau banggain silsilah keraton Ibuk itu, aku nggak tertarik, apalagi disuruh menjalani hidup dengan cara kayak gitu: melanggengkan praktik diskriminasi terhadap perempuan. Aku sama sekali nggak tertarik." Setelah mengatakannya, Gati bangkit begitu saja, menyambar tas dan pergi. Tak dipedulikannya tablet di atas meja, biar saja mereka yang urus, ia benar-benar muak.

"Gati, wait!" Janggan menyusul setelah pamit, tak mungkin membiarkan Gati pergi sendirian.

-o0o-

Belajar meluncur sambil berpegangan pada pembatas rupanya lumayan menyusahkan bagi Gati. Bukan lelahnya, hanya kesal sebab Janggan malah asyik meluncur ke sana kemari sendiri, mentang-mentang sudah lancar bergerak di atas bilah besi. Ditambah, beberapa kali Janggan mengejeknya yang jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan.

"Lihat aja ntar, aku tarik biar jatuh kalau ke sini," gumam Gati.

Kembali berusaha meluncur meski kesulitan, Gati mencoba melakukan apa yang diajarkan Janggan tadi, sedikit menekuk lutut dan memberikan sedikit dorongan di ujung kaki. Ia mulai dengan kaki kanan, cukup berhasil dengan berpindah 20 cm dari posisi semula, lalu dilanjut dengan kaki kiri. Sayangnya, untuk berhenti Gati masih mengandalkan tangan sepenuhnya di besi pembatas. Ia belum paham cara mengerem.

"Jangan dipinggir terus." Sialan! Janggan tiba-tiba berbisik di telinga kanan Gati, setengah mengejek tentu saja.

Gati menatap Janggan sengit, bibirnya sudah maju beberapa centi. "Bantuin, dong. Udah tahu aku belum bisa."

Tanpa Gati duga, ia pikir Janggan hanya berniat menggoda, nyatanya pemuda itu benar-benar mengulurkan tangan. "Ayo."

Menatap ragu wajah dan tangan Janggan bergantian, Gati sangsi.

"Ayo atau nggak sama sekali!" ulang Janggan.

Akhirnya, Gati meraih tangan Janggan, memindah tumpuan ke sana. Perlahan, sambil menarik pelan tangan Gati, Janggan meluncur mundur.

Mulanya Gati waswas, antara fokus melihat kedua kaki dan khawatir akan terjatuh. Namun, Janggan sungguh menuntunnya perlahan kali ini, tak terburu-buru, sampai Gati bisa mengendalikan keseimbangan.

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang