"Ngobrolin apa kamu tadi sama mereka? Asik banget kayaknya."
Kembali ke situasi semestinya, Gati langsung menyusul Janggan di parkiran begitu acara usai. Tak ingin keduluan si Olive lagi. Lelaki itu sendiri sudah menunggu dengan bersandar pada motor.
Gati mengedikkan bahu. "Biasa, pada kepo kenapa aku bisa tiba-tiba nempel sama Mas Danu."
Janggan mengangguk paham, lantas mengangsurkan helm. "Nanti kita mampir ke suatu tempat dulu ya, sebelum tak antar ke kos."
Satu alis Gati terangkat. "Ke mana?"
"Ada, you'll like it, I guarantee."
Gati tak mau bertanya lebih jauh, memilih mengangguk dan naik ke boncengan begitu Janggan sudah siap melajukan kuda besinya.
Sepanjang perjalanan kembali ke Yogyakarta, Gati tak henti mengamati sekitar. Meski begitu, pikirannya jujur saja melayang jauh. Persoalan dengan sang ibu masih menjadi topik utama yang membanjiri kepala, dibuat surut rasanya tak bisa.
"Ja, kira-kira gimana ya, caranya aku bisa damai sama Ibuk? Masa' aku harus ngalah?" celetuknya agak keras.
Janggan tak langsung menjawab, memilih dan memilah kata di ujung lidah yang sekiranya pantas dilontarkan. Ia belajar dari kesalahan, tak mau Gati semakin jauh sebab salah caranya memberi nasihat, seperti kata Langgeng.
"Ngalah bukan berarti kalah, Gat. Tapi gini, memaksakan apa yang kamu pegang sebagai prinsip pada Budhe Rukmi kelihatannya nggak akan berhasil, di sisi lain, bukan berarti kamu harus memaksakan diri untuk menerima prinsipnya Budhe. Masih ada waktu, kamu masih bisa pikirin win-win solution-nya."
"Iya, tapi gimana?" balas Gati cepat, "aku beneran buntu loh, Ja. Sama sekali nggak ada gambaran gimana jalan tengahnya."
Janggan melirik Gati lewat kaca spion. Ekspresi gadis itu sudah mendung tak karuan, diselimuti aura suram. Bagaimanapun, bermasalah dengan ibu sendiri memang meninggalkan perasaan yang rumit.
Sejujurnya, Janggan juga bingung. Ia merasa tak punya hak sejauh itu, apalagi setelah mendapat bogeman dari Gale. Kejadian tersebut bak peringatan baginya, meskipun bukan sepenuhnya kesalahannya. Alhasil, Janggan menjawab asal, "Dengan kamu nikah misalnya. Pasti Budhe Rukmi nggak bakal se-strict itu lagi, at least tanggung jawab udah berpindah ke suami kamu, kan? Tinggal pinter-pinter cari calon aja, yang dukung kamu, yang nggak patriarki, yang sesuai sama kriteria kamu."
Tebak, justru satu geplakan keras yang mendarat di bahu Janggan. "Ngawur! Aku isih enom banget ya, Ja. Lagian kamu pikir nikah gampang? Harus siap lahir batin, Ja. Ngurus diri sendiri aja rasanya aku pengen jungkir balik begini, malah mau ditambah ngurus rumah tangga."
Janggan meringis. "Ntar kamu tanya sama yang lebih pro aja, deh. Aku juga bingung, serba salah jadinya," pungkasnya.
Mata Gati memicing. "Siapa?"
"Sabar, ini mau kuajak ketemu sama dia."
"Sok misterius," cibir Gati seraya memutar bola mata malas.
Setelah mampir ke masjid menunaikan ibadah Asar, keduanya langsung melesat menuju sebuah kafe, tujuan awal Janggan. Di depan bangunan khas Jawa itu, Gati bisa mendapati papan nama berbentuk lingkaran dengan background putih, sedang di atasnya terdapat logo kafe berbentuk serupa dengan warna oranye, bertuliskan, "Dongeng Kopi: Sebermulanya Adalah Kopi".
Melihat sekilas, Gati tahu bahwa kafe tersebut adalah sebuah kafe buku. Tampak beberapa buku diletakkan di sudut ruang. Mulanya Gati tak yakin Janggan memiliki teman di daerah yang terbilang jauh dari pusat Kota Yogyakarta ini. Terletak di daerah Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gati sedikit sangsi bahwa ia mengenal teman Janggan yang satu itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
General FictionDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...