33. His Boundaries

96 16 3
                                        

Apa-apaan ini, dirinya sudah berkeringat dingin sejak tadi, tetapi lelaki di sampingnya malah santai setengah mati. Padahal, Wira duduk di seberang meja mereka dengan tatap tajam dan penuh interogasi. Gati rasanya ingin kabur saja.

Usai dari keraton tadi, mereka diajak Wira jamaah di masjid, sebelum makan bersama di salah satu tempat makan seperti sekarang.

"Jadi, seminggu iki Gati ndak pulang karena ikut kamu?" tanya Wira tajam. Matanya terarah lurus ke arah Langgeng.

Langgeng tertawa kecil, membuat dua orang di meja yang sama mengerutkan dahi. "Nuwun sewu, Pak. Kulo mboten nate kagungan niat kagem ndamel Gati nderek kulo. Kulo njih kagungan keluwargi ingkang mboten mungkin mangestuni kulo ngasta putri panjenengan."

Wira terkejut, siapa sangka pemuda ini akan membalasnya dengan bahasa Jawa halus. Belum pernah ia mendapati teman Gati atau dua anaknya yang lain sefasih ini melafalkan bahasa Jawa halus sebelumnya. Sebagian besar dari mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia.

"Jadi?" Wira tak mau melembutkan ekspresi, berniat mengintimidasi, meskipun Langgeng di sebelah sang putri tak merasa terganggu sama sekali.

"Bapak tidak mau mendengar penjelasan Gati lebih dulu? Bagaimanapun, seharusnya Bapak lebih percaya pada anak sendiri dibandingkan orang lain," ujar Langgeng tenang.

Di sampingnya, Gati merutuk dalam hati. Sudah tahu dirinya takut pada sang romo saat ini, malah Langgeng melemparnya ke kandang singa.

"Bukan karena ikut dia, Gati pergi karena diusir Ibuk. Romo juga mendengarnya hari itu," jawab gadis tersebut sambil menunduk dalam. Diam-diam, tangannya yang berada di bawah meja mencengkeram pergelangan tangan Langgeng kuat, menyalurkan gelisah.

"Ibuk ndak usir kamu, Gati. Bagian mana dari kata-kata ibu kamu yang berupa usiran? Romo tahu perkataan ibu kamu keterlaluan, tapi sama sekali ndak berniat mengusir kamu, Nduk. Ibu kamu hanya emosi sesaat," jelas Wira dengan tatapan melembut.

Namun, cengkeraman Gati pada tangan Langgeng justru menguat, hampir membuat lelaki itu meringis, tetapi ditahan. 

"Gati bukan anak kecil, Romo. Gati tahu ada maksud tersembunyi dari omongan Ibuk. Sekalipun nggak berniat mengusir, kenapa Ibuk harus ngomong kayak gitu ke Gati? Kenapa Ibuk nggak mikir efeknya ke Gati? Salah kalau Gati memasukkan omongan Ibuk ke hati? Romo saja mengakui kalau Ibuk keterlaluan." Mata gadis itu memerah. Saat bersibobok dengan netra sang romo, buru-buru dialihkannya pandangan ke arah Langgeng, bermaksud meminta pertolongan.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Wira. "Sekarang mau kamu bagaimana? Tentu Romo tidak bisa berbuat apa-apa jika kamu menolak, bagaimana cara ibu kamu meminta maaf jika kamu tidak pulang, Gat?"

Tanpa memandang sang romo, Gati menjawab lirih, "Kalau Gati pulang, lalu apa? Ibuk akan memaksakan kehendaknya lagi pada Gati dan Romo akan tetap diam saja. Siklus itu akan berulang juga pada akhirnya, Romo."

Tak bisa berbohong, gemuruh dalam dada Wira tak mereda, meski mati-matian ditahannya. Sudah sejauh itu kekecewaan Gati, hingga membuatnya kehilangan kepercayaan pada keluarganya sendiri. Ia sungguh tak sadar bahwa selama ini putrinya merasa dianaktirikan dengan dua kali lipat menanggung beban tuntutan.

Gati melepas cengkeramannya pada tangan Langgeng lantas bangkit, siap pergi. Namun apa boleh buat, melihat lirikan tajam lelaki di sampingnya nyali Gati langsung ciut. Gadis itu kembali duduk seraya mendengus kasar dan langsung membuang pandangan ke sembarang arah.

"Ngapunten, Pak. Jika tidak keberatan, biarkan Gati tinggal sementara waktu di tempatnya yang sekarang," ujar Langgeng tulus. Sorot tegas matanya sama sekali tak gentar menerima kilat tajam dari mata Wira. "Saya bisa pastikan, Gati aman di sana."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang