Manusia dengan satu otak pemberian-Nya, adalah makhluk penuh akal dengan beragam definisi tentang banyak hal. Sudut pandangnya sering dipaksakan benar, padahal tak jarang disampaikan setengah sadar.
Hidup bak paling tak punya salah, tatkala jatuh katanya efek dijegal lawan yang tak terima kalah. Memang tak mau menyerah, tapi langkahnya menginjak-injak dengan gegabah.
Manusia-manusia yang suka merasa paling benar, katanya paling sabar, tapi lisannya suka mencecar. Apalah manusia itu, punya banyak 'aku', hobinya menunjuk-nunjuk dengan kaku. Hinanya, "Kau pandir! Kau kikir! Kau tak mahir!"
Aku! Aku bagian dari manusia-manusia itu. Jadi, mari saling mendefinisikan ulang semua hal, menilik dari awal, lalu kembali saling mengenal.
Diajeng Gati Rukma
Cali, Penghujung Subuh-o0o-
"Tumben telepon, butuh apa, Mas?" Sambil memberesi meja penginapan, Janggan membetulkan posisi airpods di telinga, sedang gawai diletakkannya di ujung, bersandar dinding. Ia tengah tersambung panggilan video dengan Langgeng.
"Kurang ajar juga lo lama-lama. Dikira gue telepon kalau ada butuhnya doang," gerutu Langgeng di seberang.
Janggan terkekeh, menghadap sekilas ke arah kamera. "Realita. Apalagi semenjak nikah sama Mbak Hana. Mas makin annoying. Tengah malem suruh nyari sate padang lah, soto betawi lah. Yang suaminya siapa, yang ribet karena ngidamnya siapa."
Langgeng dan Hana menikah dua tahun lalu, tepat setelah perempuan itu pulang dari California. Selama hamil, Janggan yang sering diributi untuk mencari ini dan itu sebab Hana mengidam. Katanya, sebab Hana tak mau ditinggal. Alasan! Janggan sudah hafal. Jadi, siapa yang kurang ajar sekarang?
Kini, putri kecil Langgeng sudah berusia 1,5 tahun, amat akrab dengan Janggan. Jika pemuda itu berkunjung, sudah pasti sang ayah kandung dilupakan. Hal itu juga yang membuat Langgeng sering senewen padanya. Karma!
"Event lo di sana itu besok apa lusa?" tanya Langgeng, kali ini sukses membuat Janggan menghentikan aktivitas, duduk di kursi. Ia fokus menatap layar gawai yang menampilkan sosok Langgeng yang sedang memangku Kamaniya Gitanjali: bocah berambut tebal yang amat mirip dengan Hanasta itu.
"Besok, kenapa? Mau dateng?"
"Boleh, gue emang udah di Lombok lagian." Langgeng tersenyum bangga.
"Hah? Serius?"
Wajah Hanasta iku tampak dalam layar. Perempuan berjilbab dusty pink itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. "Kita di hotel, Ja."
"Fiks, emang harus dateng. Kalian sengaja? Apa niat honeymoon kedua?" Janggan mengusap wajahnya yang masih sayu, baru bangun tidur sebenarnya.
"Dua-duanya," balas Langgeng dengan senyum lebar sambil menaikturunkan alis.
"Ati-ati loh, Mas. Kalian ngajak Yaya nonton aku, tambah nggak mau sama bapaknya dia. Kalah pamor."
Langgeng mendesis, sementara tawa Janggan langsung pecah. Realistis, sekarang saja anak itu tampak begitu antusias sambil terus mengoceh melihat wajah Janggan.
"Iya kan, Ya? Om lebih ganteng daripada bapakmu?"
Seolah paham betul ucapan Janggan, anak itu membalas dengan ocehan tak jelas, berusaha meraih ponsel sang ayah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
Ficção GeralDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...