Bertemu makhluk tengil menyebalkan saat suasana hatinya belum sepenuhnya membaik adalah salah satu yang tidak ingin Gati alami hari ini. Namun tetap saja, Tuhan sudah mengatur cara kerja semesta dengan begitu apik tanpa cela, tentu menurut-Nya.
Senyum menjengkelkan itu harus ia lihat sebelum satu suap terakhir makanan masuk ke dalam mulut. Si empu berdiri santai tanpa rasa bersalah dengan sebelah tangan masuk ke saku celana, sedang tangan yang lain diangkat sejajar muka guna menyapa.
"Kayaknya kita ditakdirin bersama. Buktinya kita ketemu di sini," ucap si Rambut Jabrik. Untungnya, gingsul di sebelah kiri masih membuat pemuda itu terlihat manis.
Gati tak merespons, hanya memutar bola mata malas dan meminta Janggan mengambil alih lewat tatap mata. Gadis itu langsung memasukkan suapan terakhir dan mengunyah tak santai.
"Ngapain ke sini, Dan?" tanya Janggan. Matanya beralih pada anak lelaki berusia sepuluh tahunan dengan tampang datar di samping Danu.
"Nih, nganter bocil milih laptop." Jawaban Danu membuat anak itu mendesis. Ayolah, dia bukan lagi anak kecil, menurutnya.
Tanpa berkata apa pun sebelumnya, anak itu meletakkan kardus di samping meja dan duduk asal di kursi kosong sebelah Janggan. "Nggak apa-apa, kan?"
Ah ... Gati bisa melihat, anak ini sangat to the point, tidak banyak omong seperti Danu.
"Karena adekku udah gabung, aku juga ikut gabung, kan?"
Cih! Pertanyaan retorik, nyatanya Danu sudah duduk manis di samping Gati, satu-satunya kursi yang tersisa. Kurang ajarnya, pemuda itu langsung bertopang dagu dan lekat menatap figur samping wajah Gati dengan senyum yang berkali-kali lipat lebih menyebalkan. Gati pening dibuat.
"Ojo gateli, Mas!" (Jangan genit, Mas)
Owh, rasanya Gati ingin bersorak mendengar ucapan tajam adik Danu itu. Sedang, Janggan sudah menyemburkan tawa.
"Cah cilik iki kurang ajar." Danu melepas topangan dagu, menatap sang adik kesal. Sejujurnya, sudah biasa, anak itu memang berlisan tajam. Ditambah ekspresi datarnya, benar-benar bertolak belakang darinya.
"Aku Gati, sopo jenengmu?" tanya Gati, tak lagi peduli pada Danu. Adiknya lebih menarik.
"Dimas," jawab anak itu singkat, lagi-lagi tak ada ekspresi yang ditunjukkan.
Gati memandang Dimas sebagai anak yang cool. Bahkan dari caranya berpakaian, anak itu terlihat cukup berbeda dibanding anak-anak yang sering Gati lihat. Kaos putih yang membalut tubuhnya diberi luaran kemeja yang tak dikancingkan. Celana selutut juga sepatu putih di kaki membuat Dimas terlihat seperti remaja akhir, terlebih anak itu cukup tinggi. Di pergelangan tangan kirinya pula melekat Casio G-Shock hitam yang kontras dengan kulit putihnya. Mungkin gayanya ini terbawa sang kakak.
"Kamu suka main game? Laptop baru kamu speknya nggak main-main aku lihat." Gati tak henti bertanya, membuat Danu tersenyum kecut. Lagi-lagi adiknya lebih mempesona.
"Coding," jawab Dimas tak acuh, tetapi sukses membuat Gati berdecak kagum.
"Lihatin cewek doang nggak bisa bikin kenyang, Mas," celetuk Dimas pada Danu.
"Busettt! Sana-sana pesen, daripada tak geprek lambemu." Danu kesal.
Kali ini, Gati tak bisa menahan tawa. Drama kakak-adik ini lebih menarik daripada dramanya dengan Gale. Menoleh pada Danu, Gati berujar, "Your brother's so straightforward. He's not like you who's cheesy." (Adikmu sangat terus terang. Dia nggak kayak kamu yang murahan--receh)
"Jleb!" Danu tidak tersinggung, sungguh, hanya melucu, mungkin. "That's fine, nggak mungkin juga kamu naksir sama adekku."
"Dan nggak mungkin juga Mbak Gati naksir Mas," sambar Dimas lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
General FictionDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...