25. Sampai pada Batasnya

64 12 3
                                    

Pagi-pagi Gati sudah heboh sebab kabar dadakan yang diberi Gale. Kemarin, ia sempat memberikan nomor sang kakak pada teman sekelasnya, jaga-jaga jika ada info perkuliahan yang berubah jadwal. Benar saja, pukul 06.30 saat Gale mendapat pesan dari nomor asing yang berisi permintaan tolong untuk menginfokan Gati, lelaki itu langsung gubrak-gabruk menggedor pintu kamar sang adik yang masih tertutup rapat. Ada kuis yang dimajukan pukul 07.00.

"Ini pokoknya kalau aku telat nggak ikut kuis salahnya semua orang rumah." Mendapat kesempatan untuk memprotes kembali keputusan sang romo yang menyita ponselnya, Gati tentu tak akan menyia-nyiakannya. Setidaknya, semoga kejadian ini menjadi pengingat bahwa tanpa ponsel urusan perkuliahan Gati bisa kacau-balau.

"Biar aja sekalian ngulang semester depan," balas sang ibu tanpa rasa bersalah. Tangannya sibuk menata piring di meja makan, sedang matanya tak sedikit pun melihat ke arah sang putri yang langsung memasang wajah kecut.

"Mas Gelar, tolong anterin, dong!" Begitu mendekat ke arah Gelar yang duduk di salah satu kursi, Gati sengaja membungkukkan badan hingga kepalanya sejajar dengan kepala lelaki itu. Ia menengok dan menatap sang kakak sulung sambil memasang ekspresi memelas. 

Bukannya Gelar yang menjawab, justru sang ibu yang menyambungi, "Malam itu saja kamu pergi main ndak jelas sendirian, berani tuh jalan kaki. Kenapa sekarang minta anter? Ndak konsisten!" 

Tolong ingatkan Gati pada niatnya meminta maaf pada sang ibu hari ini. Jika begini ia bisa mengurungkan niat.

"Mas," bujuk Gati lagi, berusaha tak terpengaruh pada ucapan Rukmi, "mumpung Mas di rumah, tho? Atau kalau nggak, pesenin ojol, deh. Mas yang bayar tapi."

"Miskin begitu mau gaya-gaya bebas dari orang tua," serobot Rukmi lagi, kali ini sukses membuat Gati memejamkan mata erat.

Tangan Gati sudah mengepal sempurna di sisi tubuh begitu kembali berdiri tegak. Urat lehernya juga jelas terlihat bersamaan dengan napasnya yang memburu. Begitu membuka mata, tatapan menghunusnya langsung terarah pada sang ibu, meski tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Berulang kali ia merapal sabar dalam hati.

"Buk," ujar Gelar lembut, menengahi. Ia tahu betul sang adik sudah mati-matian menahan emosi agar tak kembali meledak.

Bukannya mereda, Rukmi justru semakin tak ingin kalah, ikut menatap sang putra dengan sengit sebelum melihat Gati sambil mendengus, meremehkan.

"Jangan buat keributan pagi-pagi!" tegur Wira yang baru bergabung, langsung duduk di ujung meja dan meraih secangkir kopi yang sudah siap.

Gati masih berdiri kaku di samping Gelar, tak peduli bahwa waktu semakin mengejar. Persetan dengan kuis, biar saja ia seperti kata ibunya: mengulang. Kebetulan sekali dosennya tak mengenal kompromi.

"Pagi, Romo, Buk, Mas! Loh, belum berangkat, Gat? Katanya mau minta anter Mas Gelar?" Gale bergabung, menyapa dengan ringan, tak menyadari ketegangan yang menyelimuti.

"Saya ndak buat keributan, Mas. Memang kenyataannya begitu, tho? Anak perempuanmu ini kalau susah baru nyari keluarga. Kalau ndak, ya boro-boro, kita aja kayaknya ndak dianggap sebagai orang tua. Berontak terus, ada aja alesannya, merasa sudah pintar mungkin. Gati itu pinter ngeluarin jurus pembelaan, jadi seolah kita semua yang salah. Padahal itu semua juga demi kebaikan dia, memang ngeyel. Malah kayak jadi anak salah didikan begini."

Kepalan tangan Gati semakin mengetat. Semoga tak ada lagi ucapan yang keluar dari bibir ibunya, jika tidak, bisa dipastikan sumpah serapah yang sudah di ujung lidah keluar begitu saja.

"Ibuk." Giliran Gale yang berusaha menghentikan dengan suara lembutnya. Meski begitu, ia sama seperti Gelar, tak memiliki keberanian untuk menegur sang ibu lebih dari itu. 

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang