41. Wira Pratiwi

52 7 8
                                    

Begitu Rukmi bangkit, mempersilakan Hanasta bergabung dengan kegiatan sanggar, Gale pulang dari kampus; masuk ke dalam rumah dengan mata mengerjap. 

Tak ada sambutan berarti, Hanasta dan Langgeng yang baru saja menyusul Rukmi; berjalan melewatinya, hanya mengangguk dan tersenyum. Berbeda dengan Gati yang langsung mendekati sang kakak, sejujurnya setengah rindu karena lama tidak bertemu. Gadis itu sedikit berjinjit dan berbisik, "Mas utang satu tinjuan ke aku karena udah bikin Janggan bonyok."

Seketika Gale menatap Janggan tajam, sebelum menyipitkan mata. "Dasar cepu!"

Janggan hanya mengedikkan bahu sebelum menyusul Gati yang langsung berlalu.

Sampai di pendopo, mulanya Hanasta hanya melihat anak-anak berlatih tari. Semakin lama, ia mulai ikut membetulkan posisi tangan, kaki, serta tubuh-tubuh anak itu yang masih salah dalam memperagakan suatu gerakan. Secara naluriah Hanasta ikut melatih mereka.

Langgeng bersama yang lain hanya duduk bersila di salah satu sudut, menyaksikan dari jarak yang lumayan, Gale pun di sana.

Lekat memperhatikan Langgeng, akhirnya Gale ketahuan. 

"Kamu yang pernah dibawa Gati ke rumah diam-diam, kan?" tembak Gale, ia tak mungkin salah. Tentu pertanyaan itu langsung mengundang pelototan tajam Gati.

Langgeng tak merasa terintimidasi sama sekali. "Iya, so what?"

Gale mendengus. "Berani-beraninya sekarang datang secara terang-terangan?"

Masih dengan senyum miring yang setia menghias wajah sejak Gale melontarkan tanya, Langgeng menjawab, "Kenapa, masalah? Nyatanya gue yang berhasil bawa adik lo balik. Malah lo satu-satunya yang nggak tahu apa-apa tentang Gati, kan? Oke, ibu kalian pengecualian. Lagian gue aman tuh, dari penilaian Janggan dan romo kalian."

Gale mengepalkan tangan kuat.

"Udah deh, Mas Gale. Nggak usah diperpanjang, Mas Langgeng nggak punya niat buruk ke aku, malah bantuin aku, oke?" peringat Gati.

"Gat, sini!" Dari tempatnya, Hanasta melambaikan tangan, meminta Gati mendekat.

Daripada pusing dengan tiga lelaki ini, Gati mending menyusul Hanasta. Lagian sudah lama ia tidak melemaskan anggota badan untuk menari.

"Kamu pasti ada maksud terselubung kan, deketin Gati?" cecar Gale.

Setelah mengembuskan napas panjang, Langgeng menunjuk Hanasta dengan dagu. "Lo lihat cewek yang dateng sama gue tadi, yang barusan manggil Gati? Nah, dia calon istri gue, jadi nggak mungkin gue ada maksud lebih ke Gati," jelas Langgeng dengan bangga.

"Hah?" Gale lantas melirik Janggan dan hanya mendapat anggukan.

Sementara itu, di sisi lain, Hanasta sengaja menciptakan space kosong untuk dirinya di tengah-tengah. Anak-anak pun dengan senang hati minggir tatkala menyadari sosok baru tersebut hendak menunjukkan sebuah tarian. Semuanya spontan duduk mengelilingi Hana, sedang Rukmi dan Gati masih berdiri bingung.

"Gat, sini ke tengah!" ajak Hanasta.

"Mbak, ngapain?" Hampir berbisik Gati bertanya. Ia sedikit kikuk karena diperhatikan anak didik sang ibu, padahal biasanya tak peduli. Efek dirinya yang sering dilatih terpisah.

Hanasta berdecak. "Ke sini cepetan!"

Alhasil, keduanya berdiri di tengah-tengah, menjadi pusat perhatian.

"Langgeng!" Hanasta beralih memanggil lelaki itu, yang tanpa diminta pun, Langgeng mendekat, ikut duduk di antara anak-anak tersebut. "Tolong puterin musik yang aku kirim tadi, ya."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang