20. Pilihan(?)

82 15 6
                                    

Tiga hari tanpa alat komunikasi apa pun sungguh membuat Gati uring-uringan. Ditambah tak punya pegangan uang sepeser pun, ia benar-benar seperti manusia purba. Romo-nya memang keterlaluan kalau sudah marah. Gale dan Gelar? Jangan harap, mereka sama sekali tak membantu. Alhasil, Gati harus pintar-pintar merayu Janggan agar mau menunjang hidupnya, biar saja dikata tidak tahu diri. Bahkan, sebab gondoknya dengan keluarga sendiri, Gati selalu menumpang makan di rumah Janggan tiga hari ini. 

Kini, ia hanya bisa menatap kosong langit-langit kamar setelah pulang dari rumah Janggan. Usai mengerjakan dan mengumpulkan tugas kuliah ke portal kampus, ia sempat mengutak-atik Instagram lewat komputer Janggan. Sayang, tak sampai lima menit, ia ketahuan dan berakhir diusir. Begitu-begitu, Janggan tetap berpihak pada Wira.

"Aku pengen ke tempat Beni, tapi nggak ada uang. Ngapain dong aku ke sana?" tanya Gati pada diri sendiri sebelum mendesah keras. "Langgeng ada di sana nggak, ya? Kan lumayan bisa ngutang dia dulu."

"Gimana caranya keluar dari rumah tanpa ketahuan?" Gati langsung mengacak rambutnya kasar, pandangannya lantas jatuh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. 

Bangkit dari posisi rebah, Gati mengikat rambut dengan karet di pergelangan tangan dan sejenak mengamati pantulannya di cermin kamar. Ia tidak perlu berganti pakaian, masih cukup pantas dipakai keluar. Sebuah cardigan crop berwarna hitam masih membalut tubuhnya, sedang sebagai bawahan Gati memakai rok dengan panjang di bawah lutut berwarna krem.

Dibukanya pintu perlahan, lantas berjalan sembari mengawasi keadaan. Pintu belakang menjadi pilihan pelariannya kali ini. Semoga tak ada yang lihat.

Seolah Dewi Fortuna sedang berpihak, Gati berhasil keluar gerbang belakang rumah dengan mudah. Tampaknya orang rumah sedang bercengkerama di pendopo. Iya, bercengkerama tanpa dirinya. Biarlah.

Alih-alih mengajak Janggan, Gati sungguh merealisasikan pergi ke tempat Beni sendiri, berjalan seperti waktu itu. Bagaimana lagi? Tak ada pilihan lain.

"Gila aja kalau sampai sana ternyata nggak ada Langgeng." Gati jadi was-was sendiri, mengingat para pemuda yang nongkrong waktu itu saja membuatnya bergidik. 

Sampai di perempatan, seperti malam itu, suasana ramai, malah lebih ramai. Mungkin karena semakin malam. Benar saja, dari kejauhan saja Gati tak mendapati motor Langgeng di antara jajaran motor yang terparkir. Hendak kembali, rasanya percuma. Gadis itu memutuskan lanjut saja menemui Beni.

Sebelum masuk ke tenda, pandangan mata beberapa orang jelas tertuju padanya, tampak jelas sedikit enggan. 

"Loh, Mbak-e ke sini ndak sama Langgeng, tho?" tanya salah satu dari mereka. Sudah dipastikan mereka ingat sosok Gati.

Diam-diam menghela napas panjang, Gati sedikit lega sebab tak menerima keusilan seperti malam itu. Ia lantas menggeleng dan masuk, merasa tak ada gunanya berbincang dengan mereka. 

"Mbak Gati ke sini lagi? Sendiri, Mbak?" Suara Beni langsung menyambut.

Sekali lagi Gati mengangguk. "Langgeng nggak ada ke sini ya, Ben?"

Melayangkan tatapan bingung, Beni akhirnya menjawab, "Sejak yang sama Mbak hari itu, Mas Langgeng ndak pernah ke sini lagi, Mbak. Padahal biasanya ndak pernah absen. Mungkin mudik."

Satu alis Gati terangkat tinggi. "Mudik? Dia bukan orang Jogja asli?"

Seraya mengangsurkan secangkir kopi pada pemesan, Beni membalas, "Denger-denger asli Magelang, tapi rumah keluarganya sekarang di mana aku ndak tahu." Beni terkekeh sebelum melanjutkan, "Rumornya rumah keluarga Mas Langgeng banyak, Mbak. Anak konglo. Mbak mau minum apa?"

Tanpa malu Gati berujar, "Aku nggak bawa uang, Ben."

Remaja 17 tahun itu mengibaskan tangan di depan muka. "Udah, santai aja."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang