5. Etika

135 20 28
                                    

"Kamu tahu siapa yang mengemukakan teori ini, kan?"

Setelah 100 persen gagal membujuk Dree agar mau ikut ke rumahnya, mau tak mau Gati yang harus manut keputusan Dree, demi tugas. Namun tetap saja, Gale yang harus mencari tempat di luar. Dua perempuan itu terlalu malas memilih.

Hayati Coffee Roaster menjadi pilihan Gale. Sebuah kafe yang terbilang lawas dan memiliki banyak pelanggan karena tempatnya yang cozy. Ditambah, jaraknya tak jauh dari UIN, tempat Gale sering nongkrong bersama beberapa teman yang kuliah di kampus tersebut. Dree sempat menolak karena tempat itu terlihat mewah, khas tempat nongkrongnya anak-anak borjuis. Ia pun yakin, tak banyak mahasiswa yang akan mampir jika bukan dari kalangan kelebihan uang. Setidaknya, begitu pikirnya. Baru setelah Gale mengatakan akan mentraktir, perempuan itu setuju.

Secangkir doppio disesap Gale perlahan, tak ingin diganggu percakapan tiga orang tersebut. Sudah cukup lama ia tak menikmati espresso double shot yang pekat itu.

"Immanuel Kant." Janggan menjawab mantap.

"Kant filsuf itu? Yang sering dibawa-bawa Mas Gale?" sambung Gati.

Dree mengangguk, menunjuk satu kalimat pada modul berformat pdf yang terbuka di layar tablet Gati. Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).

"Ini sebetulnya sejalan sama prinsip kewajiban larangan. Pada dasarnya setiap manusia sudah dibekali dengan pemahaman tentang baik buruk suatu tindakan, serta keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan. Sebut saja tawakkal untuk lebih mudahnya.

"Dalam pemerintahan sendiri, kita bisa ambil contoh kewajiban untuk tidak melakukan korupsi. Itu merupakan peraturan mutlak yang tanpa syarat harus dilakukan, bukan? Kurang lebih begitu aliran Etika Deontologi ini. Nggak peduli akibat dari tindakan itu nanti baik atau buruk, selama seseorang sudah melakukan sesuai kewajiban, akan dianggap beretika baik."

Stylus putih Gati sapukan pelan di atas layar tablet, memberi catatan tambahan dengan bahasanya sendiri agar lebih mudah dipahami. Laman berwarna putih dengan huruf berjajar rapi itu mulai warna-warni sebab si empu kelewat kreatif membumbuinya. Sebuah kebiasaan belajar yang sudah Gati lakukan sejak SD.

"Misal nih, Mbak. Aku punya kewajiban balik sebelum jam empat sore karena kebetulan kelasku selesai jam dua. Nah, tapi aku diminta nungguin Gati yang jam empat sore baru selesai kelas. Aku tungguin, dong, kasian dia nggak bawa kendaraan ke kampus, Mas Gale juga posisinya juga lagi nggak ada jadwal ngampus, ditambah nih Tuan Puteri keraton manjanya nauzubillah naik bus trans aja kesasar. Sampai rumah aku kena marah sama ibuku karena balik telat. Jadi, etikaku itu baik, nggak?"

Gati sudah melirik lelaki itu tajam, sungguh contoh yang tidak masuk akal. Lagipula, Gati bisa pulang sendiri andai kejadiannya begitu, menelepon kakaknya minta jemput atau pesan ojek online. Itu hal yang mudah.

Dengan senyum penuh arti Dree balik bertanya, "Menurut kamu sendiri gimana?"

Janggan mengubah posisi tegaknya menjadi bersandar pada kursi kayu yang diduduki. "Nggak baik, meskipun kewajiban aku buat jagain Gati udah terpenuhi, tapi aku berakhir kena marah, aku kena dampak negatifnya."

"Berarti kamu condong ke teori selanjutnya, Etika Teleologi, di mana tindakan baik buruk ditentukan berdasarkan akibat yang ditimbulkan," jawab Dree.

"It's situational," imbuh Gale, membuat tiga yang lain menatapnya seketika.

Dree mengangguk dengan senyum lebar. "Kamu dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban di saat yang bersamaan. Saat kamu membuat keputusan akan melakukan yang mana dengan pertimbangan berdasarkan efek yang akan ditimbulkan, apakah itu nanti akan berakibat baik atau buruk, artinya kamu sedang mengimplementasikan aliran Teleologi dalam memandang dan menentukan suatu etika."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang