27. Boundaries

122 18 22
                                        

Tepat di samping bangunan kos Langgeng, rupanya ada warung gorengan yang tempatnya lumayan nyaman, cocok untuk sekadar nongkrong. 

"Niki, Mas. Monggo," ujar sang pedagang seraya mengangsurkan sepiring gorengan yang baru matang. Di depan Langgeng dan Janggan sendiri sudah ada dua cangkir kopi yang asapnya masih mengepul.

"Matur sembah nuwun, Pakdhe," balas Langgeng halus, yang sejujurnya sempat membuat Janggan berjengit. "Makan, Ja."

Hingga masing-masing sudah habis mendoan sepotong, Janggan angkat bicara, "Aku ke sini buat ketemu Gati."

Mendengar itu, Langgeng terkekeh. "Iya, gue tau. Lagian nggak ada yang berniat larang lo ketemu dia. Chill dikit."

Tak ada tanggapan dari Janggan dan Langgeng sadar, pemuda di sampingnya sedang menyiapkan kepalan tangan diam-diam. Matanya saja sudah menghunuskan tatapan tajam, penuh kilat permusuhan.

"Waktu balik kemarin sore, gue lihat kerumunan orang di deket tempat kerja gue. Tadinya gue pikir ada kecelakaan, ternyata ada orang yang tiba-tiba pingsan. Gue samperin dan guess who? Gati. Badannya udah pucet parah. Gue bawa ke klinik, katanya kecapekan dan telat makan." Jujur saja, saat mengatakannya Langgeng sambil menahan gondok, tak habis pikir. Entah Gati yang bodoh atau keluarga Gati yang keterlaluan. Pasalnya, Gati tak membawa kartu identitas apa pun, ini bisa fatal akibatnya jika kemarin ia tak menemukan perempuan itu.

Janggan menunduk dalam, andai ia tahu masalah Gati dan ibunya lebih awal, pasti tidak akan begini.

"Kejutannya, dia bilang pergi dari rumah, meskipun sedikit banyak gue tahu masalah Gati sama ibunya. Itulah kenapa dia bisa ada di kos gue." Melihat tampang awas Janggan, buru-buru Langgeng meluruskan, "Nggak usah mikir aneh-aneh, I know how to respect a girl well. Itu emang masih kos gue sampai sebulan ke depan, tapi gue udah nggak tinggal di sini, tinggal barang-barang gue aja."

Langgeng meraih cangkir dan menyesap isinya perlahan. Tak pernah terpikir sebelumnya ia bisa berurusan dengan remaja beranjak dewasa semacam Janggan dan Gati.

"Kamu bilang, Gati nggak mau orang lain tahu, tapi kenapa kamu kasih tahu aku kalau dia di sini?" Dahi Janggan berkerut dalam, ia masih tak terima bahwa kemungkinan besar lelaki itu adalah orang baik. Namun jika memang dia memiliki niat buruk pada Gati, untuk apa memberitahunya, bukan?

"Lo berharap gue nyembunyiin dia sampai kapan? Atau ... lo berharap gue mau merealisasikan niat Gati yang pengen ngilang dari keluarganya?" Langgeng terkekeh saat mendapati Janggan menggeleng. Ia lantas melanjutkan dengan nada yang lebih lirih, "Gue nggak mau Gati bernasib sama kayak gue dulu."

Beberapa kali Janggan mengerjap.

"Ja, gue tahu ini mungkin agak aneh karena kita baru ketemu hari ini dan kita juga nggak akrab, tapi gue punya permintaan buat lo."

"Apa?" Sebelah alis Janggan menukik tajam.

"Meskipun lo mungkin nggak bisa bela Gati di depan orang tuanya, gue harap lo paham kalau apa pun yang sedang diperjuangkan Gati itu valid. Rasa sakit, perasaan dikerdilkan, dianggap remeh, nggak dihargai, semuanya itu valid. Gue nggak minta lo buat membenarkan segala tindakan dia, tapi tolong, sebagai orang yang deket sama Gati, harusnya lo lebih paham sama pola pikir dia, kasih support yang sesuai. I'll not say more, itu PR lo, pahami pola pikir Gati."

Semenit penuh diam, Janggan sengaja mencerna ucapan Langgeng. Apa selama ini ia masih kurang mengerti Gati? Rasa-rasanya tidak.

"Batu ketemu batu nggak bakal bikin salah satunya lunak, hancur yang ada kalau ditabrakin," celetuk Langgeng kemudian, "How's the way? Change one of them."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang