Suasana makan malam di rumah Jawa-modern tersebut tak berbeda dari malam-malam sebelumnya: hening. Jangankan meja makan, suasana rumah pun ikut hening sejak Gati pergi. Tak ada lagi cekcok, tak ada perdebatan, pun sekadar obrolan ringan yang membuat keadaan lebih hidup. Tak heran jika Gale lebih sering keluar akhir-akhir ini sebab tak tahan dengan keheningan yang ada.
Namun sekali ini, Gale memutuskan untuk ikut duduk di meja makan, setelah malam-malam sebelumnya memilih makan di kamar dengan alasan sambil mengerjakan tugas yang mepet tenggat waktu. Ia sudah janji pada Chiza untuk menyampaikan pesan. Hanya kesempatan ini yang bisa dimanfaatkan untuk bicara.
Usai membalik sendok di atas piring dan menelan kunyahan terakhir, Gale menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Belum ada seteguk air pun yang membasahi kerongkongan, tak berniat melakukannya sebelum tanya di ujung lidah terlontar untuk sang ibu.
"Ngapunten, Buk. Boleh Gale tanya sesuatu?" Suara Gale langsung mendapat atensi Rukmi dan Wira.
"Tanya opo?" balas Rukmi lembut.
"Nopo Ibuk mboten kerso misal Gati pulang?"
Bukan hanya Gale, Wira pun menanti jawaban sang istri.
"Buat apa dia pulang kalau ndak mau nurut apa kata orang tua?" Nada bicara Rukmi berubah sinis. "Biarin sekalian jadi anak liar kalau ndak mau diatur."
Sekali lagi Gale mengembuskan napas panjang mendapati jawaban sang ibu yang tak sesuai harapan.
"Misal Gale yang seperti Gati, apa Ibuk akan memberi tanggapan serupa?" Gale berusaha sabar, meski satu tangannya yang berada di atas paha mengepal kuat.
Rukmi menatap sang putra dalam. "Beda, Gal. Kamu itu anak cowok, pergerakannya bisa lebih bebas. Sementara adikmu itu perempuan, rawan kena bahaya. Kamu pikir Ibuk seperti ini karena tega sama Gati? Bukan! Ibuk cuma khawatir, Gati itu lebih rentan kena masalah. Bayangkan bagaimana kalau pakaiannya ndak Ibuk atur? Dia bisa dipandang ndak punya harga diri dan itu bisa mencederai nama baik keluarga kita. Paling parah, amit-amit kalau adikmu sampai ada yang melecehkan.
"Larangan untuk melakukan ini-itu juga demi kebaikan Gati. Memang kamu bisa jamin kalau Gati bisa naik motor atau nyetir mobil sendiri dia nggak bakal keluyuran? Memang kamu bisa memastikan Gati bisa mengatur emosi dengan baik di jalanan? Yang ada Gati yang celaka.
"Cara dia bersikap, Ibuk juga ngajarin semuanya ke Gati biar dia bisa mengurus suaminya kelak dengan baik, biar ndak dirasani sama mertuanya, biar ndak dipandang remeh dan ndak becus apa-apa sama keluarga suaminya. Memang kamu bisa menjamin Gati akan mendapat suami dengan keluarga yang sayang sama Gati tanpa syarat? Ndak, tho?"
"Dan Ibuk akan membiarkan Gati tetap menikah dengan seseorang yang keluarganya bermasalah seperti itu?" balas Gale cepat, spontan tanpa berpikir. "Kalau jadi Ibuk, Gale nggak akan rela. Gati berhak berada dalam keluarga yang semua anggotanya sayang sama dia, tanpa tuntutan."
Rukmi bungkam, begitupun Wira.
"Buk, bagaimana bisa Ibuk nggak kenal dengan anak Ibuk sendiri? Bagaimana bisa Ibuk nggak paham bagaimana Gati? Sepanjang Gale jadi masnya Gati, dia nggak pernah lupa sama kewajibannya, Buk. Dia nggak pernah lupa dengan tanggung jawabnya. Emosi ... Gati bisa mengatur emosinya dengan baik selama ini, hanya masalah sama Ibuk saja yang sampai membuat Gati sejauh ini." Mata Gale memerah, liquid bening sudah menggenang di ujung mata.
"Faktanya, Ibuk hanya memikirkan nama baik keluarga kita tanpa memedulikan Gati sedikit pun. Mengakui nggak mengakui, selama ini Ibuk sudah timpang memberikan kasih sayang pada anak-anak Ibuk. Perlakuan Ibuk pada Gale dan Mas Gelar, sangat jauh berbeda dengan perlakuan Ibuk kepada Gati. Setidaknya begitu di pikiran Gati, dan ini bukan tanpa alasan, Buk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
General FictionDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...