22. Jamal-Jalal Tuhan

94 16 21
                                    

Rumah Langgeng terbilang besar. Bergaya minimalis dengan cat dominan putih, Gati juga mendapati tanaman rambat yang menghias dinding luar di sisi kiri. Rumah itu cukup asri, banyak pot tanaman di sepanjang teras rumah, dan Gati yakin sampai halaman belakang pun juga penuh tanaman.

Di sudut kanan teras, terdapat kolam ikan kecil lengkap dengan pancuran yang menghantarkan bunyi gemericik air. Tepat di sisinya, satu set kursi taman diletakkan. Di pikiran Gati kini, pasti menyenangkan duduk di sana pada pagi dan sore hari, sembari memberi makan ikan.

Bunyi pintu terbuka membuat Gati menoleh seketika, tak lagi menyapukan pandang ke sekeliling, melainkan fokus pada perempuan yang muncul dari balik pintu utama dengan seulas senyum. Kesan pertama yang ia dapat, perempuan itu sangat sederhana.

Diperhatikan lebih lama, Gati menangkap fitur gadis Jawa yang pekat pada sosoknya. Dengan kulit sawo matang juga tatapan teduh, Gati yang perempuan saja merasa tertawan. Apalagi pada iris cokelat yang sejujurnya lebih terang dibanding orang kebanyakan.

"Baru sampai, Mas?" tanya perempuan itu lembut. Tuturnya kembali membuat Gati takjub.

Langgeng tampak hanya mengangguk dengan tampang datar, terlihat tak berniat membalas senyum.

"Ini teman Mas," ucap Langgeng singkat.

Tanpa diminta, Gati mengulurkan tangan dengan ramah. Senyum lebar merekah di bibirnya. "Gati," ucapnya memperkenalkan diri.

"Saya Raha, Mbak. Adiknya Mas Langgeng." Raha balas mengulurkan tangan, menyambut dengan senyum tak kalah lebar. "Mari masuk."

Sedang Gati mengangguk dan berjalan bersisian dengan Raha memasuki rumah, Langgeng mengembuskan napas panjang, menyusul dari belakang.

Begitu duduk di sofa ruang tamu, azan Asar terdengar, baik dari pengeras suara masjid di ujung jalan, juga dari sebuah ponsel yang Gati yakin milik Raha. Pengingat salat.

Sedikit ragu, Raha bertanya, "Maaf sebelumnya, Mbak ... shalat?"

Gati memandang Langgeng seketika, membuat lelaki itu mengedikkan bahu. Namun dari sana Gati paham, Langgeng seolah memberitahunya bahwa sang adik segan bertanya bahwa ia muslim. Langgeng sendiri jelas tahu, tadi mereka mampir ke masjid saat Zuhur untuk menunaikan ibadah wajib 4 rakaat.

Gati kembali beralih pada Raha, mengangguk mantap.

"Em ... mau shalat dulu?" Sungguh, terdengar jelas bahwa Raha segan mengatakannya, barangkali takut akan respons Gati.

"Boleh, yuk! Kalau bisa di awal waktu, kenapa harus nanti?" Gati bangkit seketika, membuat senyum kembali terulas di bibir Raha.

Melihat sang kakak, Raha bertutur, "Jamaah ya, Mas yang jadi imam."

Lelaki itu melotot, tak setuju dengan ide sang adik. "Nggak! Kamu saja sama Gati. Mas shalat sendiri."

Gati langsung menatap lelaki itu sengit. "Kenapa? Takut nanggung dosaku, Mas?"

"Nah ... udah cukup seharian lo nggak tahu diri. Urusan akhirat kita sendiri-sendiri," balas Langgeng santai.

Gati mendesis, tak membela diri.

"Sekali saja? Raha rindu mendengar bacaan shalat Mas. Sudah 7 tahun, kan?" bujuk sang adik.

"Bacaan shalat Asar itu sirr, Raha. Dibaca pelan. Jangan mencari alasan."

Tak bisa membalas, Raha menghela napas berat. Membuat sang kakak bersikap hangat seperti dulu memang tidak akan mudah.

"Ya sudah, kita jamaah sendiri ya, Mbak?"

Gati mengangguk, memaksa Langgeng meskipun dalam hal baik pun rasanya tidak etis.

Dua perempuan itu berlalu, memilih salat Asar di musala rumah, sedang Langgeng pergi ke kamarnya sendiri.

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang