42. Konfrontasi

46 7 11
                                    

"Apa Ibuk bilang? Gati salah denger, kan?" tekan Gati, memastikan yang baru saja didengar.

"Ibuk sudah nemuin calon buat kamu. Kamu kan sebulan lagi 20 tahun, tahun depan sudah ideal untuk menikah, apalagi perempuan. Jadi setahun ini bisa kamu gunakan untuk kenalan secara intensif sama dia, saling membangun kecocokan."

Tangan Gati yang berada di sisi piring mengepal kuat, rahangnya mengetat. Ibunya selalu punya gebrakan untuk membuatnya naik darah. Napas perempuan itu mulai memburu.

"Dan kamu ndak bisa menolak yang satu ini. Oke, untuk masalah yang kemarin-kemarin Ibuk ngalah, kamu bebas melakukan apa yang kamu mau. Toh dengan menikah nanti kamu bisa bebas dari semua aturan Ibuk, tho?" tutur Rukmi tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Sebenarnya, tadi pagi ia dihubungi salah satu teman yang mengusulkan ide untuk menjodohkaan anak satu sama lain. Tentu Rukmi langsung mengiyakan tanpa pikir panjang, ia bahkan baru mengungkapkan niatnya pada sang suami siang tadi dan tak ada komentar. 

Wira bukannya langsung menyetujui sang istri begitu saja, ia pikir, keputusan Gati nantinya yang juga akan menjadi keputusannya. Jadi, tak ada artinya menyetujui Rukmi atau tidak, semua kembali kepada Gati. Siapa sangka dengan ultimatum semacam ini?

"Ibuk nggak ada perintah yang lebih aneh dari ini?" Sengaja gadis itu menekankan kata 'perintah'. Ia lantas mendengus, "Gati masih muda, Buk!"

Hanasta dan Langgeng saling pandang, keduanya bak melihat diri sendiri tujuh tahun lalu. Namun, mereka tak punya kuasa untuk ikut campur kali ini. Gale sudah memejamkan mata rapat-rapat, siap menerima kemungkinan Gati akan mengamuk untuk kesekian kali. 

Janggan? Tak usah ditanya, pemuda itu sedang sibuk mengatur suasana hati yang baru saja dibuat terjun bebas, meskipun wajahnya kentara amat memelas.

"Menikah bukan hal aneh, Gati. Apalagi kamu perempuan, jangan menunda menikah jika memang sudah ada calonnya. Takut hal-hal buruk terjadi, paling buruk, kalau kamu menolak, takutnya ke depan malah akan susah mendapat jodoh."

Gati sungguh tak habis pikir dengan sang ibu. Ia benar-benar lelah menghadapi wanita itu. Membaik apanya? Yang ada hubungan mereka semakin merenggang setelah ini.

Gati buru-buru bangkit meskipun makanannya belum habis. Nafsu makannya hilang begitu saja. "Mbak Hana, Mas Langgeng, bisa anterin aku ke kos sekarang? Aku nggak nyaman ada di rumah ini."

Dua langkah berjalan, Gati berhenti dan menoleh ke arah sang ibu. "Terserah Ibuk mau apa. Aku bener-bener nggak punya tenaga buat debat sama Ibuk. Terserah, toh Ibuk nggak bakal nerima penolakan aku dengan alasan apa pun. Iya, kan?"

Gati benar-benar pergi dari sana, dan disusul Langgeng serta Hanasta setelah mengucapkan terima kasih atas makan malam, permintaan maaf, serta izin undur diri.

Hening kembali menyelimuti setelah hanya tersisa empat orang di meja makan. Tak lama, suara kursi yang digeser terdengar, Janggan yang bangkit berdiri kali ini.

"Makasih makanannya, Budhe," ujarnya lirih, "Janggan juga pamit pulang."

-o0o-

Satu kata: kacau. Suasana hati Gati tak membaik sama sekali beberapa hari terakhir. Ia bahkan menolak bertemu dengan semua kenalannya. Tidak dengan Hanasta, Langgeng, apalagi Janggan. Sejak keputusan sepihak Rukmi tiga hari lalu, Gati sama sekali tak lagi mendengar keadaan di rumah, ia tak peduli. 

Selama itu pula, Gati menebalkan muka berpindah dari satu toko ke toko lain di sekitar kos untuk mencari pekerjaan. Setidaknya Gati harus mulai menghasilkan uang untuk makan dan mengganti uang Langgeng serta Janggan yang telah ia gunakan.

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang