23. Tembok Sakral

104 15 6
                                    

"Lima menit lagi waktu kamu pinjem laptopku habis. Selesai nggak selesai aku nggak peduli." Tangan Janggan terlipat di depan dada, sedang sorot matanya tajam terarah pada Gati yang duduk di depan meja belajarnya.

Sadar dari lamunan, gadis itu mendongak sambil meringis, membuat matanya sisa segaris. "Tenang, Ja. Tinggal ngirim ini."

Sibuk jemari Gati berkutat di atas keyboard laptop untuk mengirim tugas yang dikerjakannya secara dadakan, sebab kembali saat Isya menjelang. Syukurnya, kedua orang tuanya sedang ada acara di luar, sedang kata Mbok Sar kedua kakaknya juga izin keluar untuk menemui teman. Meski tak yakin tak akan ditanya saat nanti mereka kembali, setidaknya aman untuk saat ini, cari alasan saja nanti.

"Tadi kamu ke mana?" tanya Janggan lirih, sedikit ragu. 

Namun tak urung, Gati merespons dengan menghentikan jari tepat di atas tombol enter. Setelah menekannya untuk sesaat, ia kembali mendongak. Dicobanya meneliti ekspresi Janggan yang kini sudah mengangkat sebelah alis.

"Nggak mau kasih tahu juga nggak apa-apa, daripada kamu bohong dan kita ribut lagi." Janggan langsung mengurai lipatan tangan dan berbalik, hendak merebahkan diri ke atas ranjang. Namun baru dua langkah, suara Gati menghentikannya.

"Aku diajak ke rumah Mas Langgeng. Awalnya aku yang ajak dia jalan, sih," ungkap Gati, menggigit bibir setelahnya. Ia takut Janggan marah.

Dua detik kemudian, saat lelaki itu kembali berbalik badan, bukannya mendapati kemarahan Janggan, Gati justru disuguhi tampang bingung pemuda itu. 

"Mas Langgeng? Siapa?" tanya Janggan.

"Cowok itu, yang aku bohong sama kamu, di cctv. Namanya Langgeng."

Embusan napas panjang lolos dari bibir Janggan, ia sungguh tak ingin mempermasalahkannya saat ini. Tak tahu harus menanggapi bagaimana, tangan pemuda itu spontan terangkat, menggaruk kepala. "Oh."

Janggan lantas meneruskan niat awal, berjalan ke arah ranjang dan merebahkan diri di sana, memandang langit-langit yang diterangi lampu led. 

Tak hanya menoleh, Gati sudah mengubah posisi kursi yang diduduki menjadi sempurna menghadap pemuda itu. Masih dengan satu tangan bertumpu di atas meja, ia bertanya, "Kamu nggak marah?"

"Kenapa aku harus?" balas Janggan cepat, tanpa mengalihkan tatap.

"Ya ... masih masalah yang kemarin, mungkin."

Kekehan kecil lolos dari bibir Janggan bersamaan dengan dia yang bangkit dari posisi rebah. Ia lantas menyungging senyum miring. "Aku sadar, ternyata aku nggak berhak buat marah."

Kini, giliran Gati yang mengembuskan napas panjang, tahu Janggan menyindirnya secara halus. 

"Ja, menurut kamu, tindakan aku yang ngelawan Ibuk itu gimana?" Gati sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Tindakan ngelawan yang mana? Ubah penampilan? Atau ... mangkir dari latihan setiap harinya?"

"Semuanya."

Janggan menaikkan kaki ke kasur, jadi duduk bersila dengan dua tangan menumpu ke belakang. "Kalau itu ... jelas salah. Bagian mana yang bisa disebut nggak salah kalau kita bicara tentang melawan orang tua? Tapi balik lagi, itu kalau aku memilih buta terhadap alasan kamu melakukan itu. Aku nggak bisa menutup mata bahwa setiap perlawanan itu timbul sebab adanya ketidakdilan."

Lagi-lagi ucapan Langgeng terngiang, membuat Gati menunduk dalam. Hingga, suara Janggan yang kembali terdengar membuatnya mengangkat kepala.

"Kalau boleh jujur, justru tindakan kamu yang kemarin-kemarin merugikan diri sendiri, Gat. Kamu ubah penampilan, kamu sendiri yang berakhir nggak nyaman."

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang