34. Interupsi

93 15 2
                                        

Pukul 14.30 keduanya kembali berkendara tanpa arah, sampai Langgeng bertanya, "Masih siang, lo mau ke mana lagi?" 

"Lah aku kan dari pagi juga cuma ngikut Mas Langgeng." Gadis itu tak mau repot-repot mengalihkan pandang dari kanan-kiri jalan. Matanya sibuk mengamati para pengendara lain juga berbagai bangunan yang mereka lewati.

"Mau ketemu Aza, nggak?" tawar lelaki itu.

Gati langsung menaruh fokus, menjulurkan kepala ke sisi kanan kepala Langgeng. "Aza?"

Lelaki tersebut mengangguk seraya melirik ke arah Gati. "Hari ini dia ada jadwal kemo dan seperti biasa, rawat inap. Kali aja lo mau kenalan langsung sama dia, kan waktu itu cuma lihat dari jauh."

"Boleh?" tanya Gati ragu. Mengingat kisah yang diceritakan Langgeng perihal anak itu, rasanya Gati tak tega berhadapan langsung.

"Kenapa mesti nggak boleh?" tanya Langgeng balik, "take it easy aja. Lo bisa sekalian kenalan sama Windi."

Saking antusiasnya, anggukan kepala Gati sampai membuat helm keduanya saling terantuk. "Ups, sorry."

Langgeng langsung menyalakan lampu sein kanan, siap berbalik arah mengingat tadi keduanya sudah melewati rumah sakit tempat Aza dirawat.

Kurang dari lima belas menit mereka sampai di parkiran rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Aza.

Tiba di sana, Gati langsung disuguhi pemandangan anak itu yang tersenyum lebar sebab mendapati Langgeng.

"Mas Langgeng!" seru anak perempuan itu, sedang tangannya sudah terentang, siap memeluk.

Tak ingin mengecewakan gadis kecil tersebut, Langgeng berderap semakin cepat dan berakhir memberi pelukan. Tangan kirinya mengusap pelan bagian belakang kepala Aza yang tertutup sebuah kupluk.

"Aza kangen sama Mas Langgeng," kata anak itu.

Mengurai pelukan, Langgeng duduk di brankar, tersenyum lebar. "Kan Mas udah ada di sini."

Windi yang sejak kedatangan Langgeng langsung berdiri, berganti melihat sosok perempuan yang masih mematung 2 meter dari brankar. Dahinya berkerut dalam, tetapi senyum tetap ia ulas. 

"Mbak temannya Langgeng, kan? Sini, Mbak," ujar Windi halus, sebelum beralih pada Langgeng. "Ajak ke sini, Lang."

"Gat, katanya mau ketemu Aza." Langgeng menggerakkan kepala, memberi kode untuk mendekat. 

"Loh, temenmu ngerti Aza?" tanya Windi.

Saat Gati mendekat, Langgeng menjawab, "Pernah nggak sengaja lihat gue sama Aza di taman rumah sakit."

Gati mengangguk sopan, lantas mengulurkan tangan kanan yang segera disambut Windi tak kalah ramah. "Panggil Gati aja, Mbak. Ngapunten tiba-tiba saya ikut Mas Langgeng jenguk Aza."

Windi tertawa kecil. "Ya ndak apa-apa, tho. Aza malah seneng kalau banyak temennya. Iya, kan?"

Anak itu mengangguk penuh semangat. "Mbak mau main sama Aza, kan?"

Gati balas mengangguk tak kalah semangatnya. Alhasil, posisi duduk Langgeng semula berganti milik Gati. Keduanya terbilang cepat akrab untuk ukuran orang yang baru kenal.

"Aza seneng main apa biasanya?" 

Aza dan Gati mulai asyik berbincang berdua.

Melihat interaksi mereka, Langgeng tersenyum lebar. Dua tangannya sudah terlipat di depan dada, sedangkan matanya tak lepas sedetik pun dari Gati dan Aza.

"Lang, bisa bicara sebentar?" tanya Windi, yang juga berhasil menarik atensi Aza dan Gati. Begitu Langgeng mengangguk, Windi melanjutkan, "Tak tinggal sebentar, ndak apa-apa kan, Gat?"

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang