2. Memuji Gadis Perawan

125 25 4
                                    

Sampai di rumah, Gati dan Gale dibuat saling pandang saat mendapati pendopo rumah yang terbilang amat luas itu ramai. Banyak orang berpakaian khas Jawa duduk lesehan di sana dan berbincang.

"Romo sama Ibu dapat rombongan tamu dari mana itu, Mas?" tanya Gati. Keduanya masih berdiri mematung cukup jauh dari pendopo. Sosok keduanya pun masih cukup terhalang tanaman perdu yang dijadikan pagar pembatas lahan parkir keluarga dengan lingkup pendopo.

"Nggak tahu, tadi pagi Ibu nggak bilang-bilang kalau mau punya tamu."

Sejujurnya, tidak terlalu mengejutkan. Hal ini sudah sering terjadi. Keluarga besar mereka sering berkumpul di rumah satu sama lain, untuk memperkuat persaudaraan katanya. Namun yang mengherankan kali ini, baik Gati maupun Gale tak ada yang mengenali orang-orang itu.

"Mbak, Mas, kok ndak masuk tho?" Perempuan gempal usia 50-an dengan jarik tradisional menepuk pelan pundak Gati, membuat keduanya menoleh.

"Mbok kebiasaan deh, suka ngagetin," protes Gati.

"Itu siapa, Mbok? Masih keluarga?" Bukan apa-apa, Mbok Sarmi ini sudah ikut keluarga Gale puluhan tahun, paham betul mana yang termasuk kerabat mana yang bukan. Sedangkan Gale dan Gati justru terbilang agak buta silsilah. Paling hanya kenal yang sering datang ke rumah, pun kebanyakan hanya tahu wajah tanpa tahu nama mereka.

"Bukan, Mas. Itu teman-teman zaman kuliahnya Bapak sama Ibuk katanya," jawab wanita itu.

"Kok bisa gayanya sama gitu, Mbok? Itu reuni pada pakai dresscode tradisional Jawa?" Gati menimpali dengan tanya ke sekian. Sesekali matanya masih melirik ke arah kumpulan orang-orang di pendopo.

"Loh, dari dulu kan lingkup pergaulannya Bapak sama Ibuk memang orang keraton kenthel, Mbak. Kalau kata anak zaman sekarang apa itu ya ... Mbok lupa."

"Circle maksud Mbok?"

"Nah, bener itu, Mas Gale. Sudah, monggo masuk Mas, Mbak. Tadi dipesen sama Ibuk kalau Mas Gale sama Mbak Gati pulang disuruh langsung gabung." Menjadi pengasuh Gale dan Gati sejak keduanya masih bayi, membuat Mbok Sarmi begitu akrab dengan keduanya. Didorongnya pelan punggung dua orang tersebut, sedikit memaksa. Jika tidak begitu, sudah bisa dipastikan keduanya akan buru-buru kabur ke pintu samping dan masuk kamar masing-masing.

Mau tak mau, Gale dan Gati hanya bisa pasrah.

"Assalamu'alaikum." Sapaan Gale sukses memecah atensi satu ruangan terbuka tersebut. Semua mata tertuju padanya dan sang adik.

Balasan salam terdengar koor disambung riuh rendah kemudian.

"Ini putra sama putrimu tho, Mi?" Bersanggul kecil, sedang di tubuhnya melekat kebaya kutu baru berwarna salem, wanita berlipstik red-rose itu berujar antusias.

"Iyo, Nyimas. Betul. Itu Gale, anak keduaku. Yang perempuan namanya Gati, anak bungsu. Si Sulung masih jaga perbatasan." Rukmi—ibu keduanya—menjawab tak kalah antusias. Meski kadang dibuat jengkel oleh kedua anaknya, tetap saja ia bangga memamerkan mereka dalam acara-acara seperti ini.

Gati dan Gale buru-buru berlutut, mencium punggung tangan mereka semua penuh hormat secara bergantian. Sopan santun harga mati.

"Wes gede ternyata. Terakhir ketemu masih tak gendong yang cowok ini," sambung lelaki berkemeja batik seumuran romo mereka, yang kemudian Gati tahu adalah suami dari wanita bernama Nyimas tadi.

"Sudah perawan anakmu, Wira! Ayu tenan, Gale yo ganteng!" Kini giliran wanita berkebaya teracota yang bicara. Gaya wanita itu sudah jauh modern menurut Gati.

"Matersuwun sanget, Tante." Menarik ujung bibir ke atas, Gati mengangguk sekali. Terlihat seperti gadis manis jika begini, seolah tak pernah ada kata umpatan yang keluar dari bibirnya. Sedang, Gale hanya menanggapi dengan senyum.

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang