Duduk di ruang tamu rumah Janggan, tiga laki-laki itu sama-sama berwajah kuyu dengan kantung mata menghitam. Penampilan mereka super acak-acakan, ditambah belum tidur semalaman. Melirik jam dinding berbahan kayu dengan ukiran Majapahit, Janggan mengembuskan napas panjang, sudah pukul 6 pagi dan Gati tak menunjukkan tanda-tanda pulang sama sekali.
"Kita harus cari ke mana lagi?" desah Gale seraya menyandarkan punggung ke sofa.
"Kalian berdua beneran sudah tidak punya bayangan ke mana Gati pergi?" timpal Gelar.
Janggan dan Gale menggeleng lemah. "Gati nggak punya temen akrab, Mas. Selama ini kalau ke mana-mana ya paling sama aku atau Mas Gale, itu pun tempatnya kita tahu semua. Udah dikunjungin satu-satu, tetep nggak ada. Dan aku juga udah ubek-ubek semua temen kampus dia tapi juga nihil."
"Dia juga nggak ke tempat Dree," imbuh Gale, diikuti desahan panjang, "baru ini Gati bener-bener pergi yang sampe ngilang. Gati nggak mungkin kenapa-napa kan, Mas?"
"Kamu mikir yang baik-baik saja," tegur Gelar.
Kepalanya yang sudah pening sebab kurang tidur, bertambah pening sebab kekhawatirannya bertambah tiap detik. Janggan memejamkan mata sejenak, tangan lelaki itu sudah terangkat, memijat pelan pangkal hidung.
"Kira-kira ada kemungkinan Gati ke tempat cowok itu nggak, Ja?" Pandangan Gale lekat menatap Janggan yang masih menutup mata.
Tanpa mengubah posisi sedikit pun, Janggan menjawab, "Ada sih Mas, tapi tipis. Gati sempet cerita, yang selumbari pergi itu, dia diajak ke rumah cowok itu." Janggan langsung membuka mata, memberi penjelasan lebih sebab takut keduanya salah paham, "But, no offense, tenang aja, di sana Gati cuma ngobrol sama adiknya. Kalau dia beneran pergi ke sana pun, gimana caranya? Gati nggak ada uang pegangan sama sekali, kan?"
Gale langsung menyahut setelah mendesah panjang, "Iya sih, rumah cowok itu juga cukup jauh, daerah Wonosari. Minta jemput ... Gati juga nggak punya alat komunikasi."
Gelar berdecak kecil, siapa sangka kepulangannya kali ini malah dihadapkan dengan masalah seperti ini. Ia juga tak pernah tahu bahwa cekcok kecil yang dulu sering dilakukan sang adik bungsu dengan ibu mereka semakin parah dan kemarin puncaknya. Adik kecilnya betul-betul sudah beranjak dewasa tanpa ia sadari.
"Aku juga nggak ada kontak cowok itu sama sekali, kita nggak punya akses buat approach dia," pungkas Janggan.
"Kalau memang kayak gitu, gimana caranya Gati bisa hubungin dia tempo hari? Orang-orang di sekitar dia juga nggak ada yang merasa minjemin HP, kan?" Pertanyaan Gale sukses membuat Janggan tercenung, pun Gelar yang ikut memutar otak.
Punggung Janggan menegak. "Beni!" serunya.
Gale ikut terlonjak. "Iya, aku inget Gati pernah bilang kalau dia ketemu cowok itu di tempat Beni. Kita langsung ke Ben aja kalau gitu, Ja. Mumpung tuh bocah belum ke sekolah jam segini."
Anggukan mantap diberikan Janggan, setelahnya pemuda itu beralih pada Gelar. "Kayaknya, lebih baik biar kita berdua aja yang pergi, Mas. Mas Gelar nemenin Pakdhe Wira sama Budhe Rukmi aja. Dari semalam Pakdhe sama Budhe pasti juga panik, tho?"
Gale setuju. "Bener kata Janggan, Mas. Cuma Mas yang bisa berhadapan sama Ibuk tanpa emosi saat ini, aku nggak bisa."
Embusan napas panjang lolos dari bibir lelaki bertubuh kekar itu. "Ya sudah, nanti langsung kabari kalau ada apa-apa."
Setelah pamit pada Runi--ibu Janggan--ketiganya beranjak. Jika Gelar pulang, Gale dan Janggan langsung melesat dengan mobil yang dikemudikan Janggan.
Hampir terlambat, sampai di rumah Beni keduanya sudah mendapati anak kelas 12 itu siap berangkat ke sekolah. Untung saja masih sempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
Fiksi UmumDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...