17. Cari Mati

77 16 10
                                    

Tak henti ia menyunggingkan senyum lebar tatkala menggulir layar ponsel, melihat koleksi foto yang baru diambilnya kemarin. Kebanyakan potret dirinya sendiri yang diambil tanpa kelihatan muka, sebagian lagi foto candid dengan background super estetik dan artistik. 

Berhenti pada satu foto, Gati mengamatinya lebih lama. Sebuah foto candid berlatar belakang bangunan serba putih dengan kaca-kaca besar berbentuk geometris. Di sana, ada dirinya dan Langgeng yang tampak saling melempar tawa, ia dengan posisi berdiri menyamping dan satu tangan menutup mulut, sedang Langgeng bertumpu lutut, menghadap ke arahnya. Yang membuat Gati menyukai foto itu adalah karena samar. 

Foto itu diambil oleh anak kecil yang iseng dimintai tolong oleh Langgeng untuk memotret keduanya. Sebab tak stabil, gambar yang dihasilkan pun cukup blur, tak sampai mengekspos wajah Gati dan Langgeng. Namun, justru itu yang membuatnya terlihat estetik, seperti filter.

Kegiatan Gati itu jelas tak lepas dari pengamatan Gale yang duduk di atas brankar, bersiap pulang. Lelaki itu sampai bertanya-tanya apa kiranya yang salah dari sang adik. Baru kali ini ia melihat Gati begitu.

Membuka aplikasi Instagram, ringan tangan Gati memosting 3 foto: 2 slide pertama hanya menampilkan foto yang sempurna meng-capture spot indah Ullen Sentalu, dan 1 foto di slide terakhir adalah potret blur dirinya dengan Langgeng. Feed yang semula hanya berisi tiga unggahan random seketika bertambah. Dalam unggahan barunya itu, Gati menuliskan takarir, "Ulating blencong sejatine tataraning lumaku", yang merupakan kepanjangan dari Ullen Sentalu. Nyala lampu blencong (lampu dalam pertunjukan wayang kulit) sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk melangkah dan meniti kehidupan. Sebuah falsafah yang juga baru Gati tahu dari Langgeng saat berkunjung kemarin.

"Bentar lagi kamu gila beneran kayaknya, Dek," cibir Gale, membuat Gati seketika bangkit dari posisi rebah di atas sofa.

"Iri bilang, Mas."

Desisan Gale lolos mendengar balasan Gati. Namun tak lama, ia berujar, "Terlepas dari kamu yang kayaknya lagi seneng itu, kamu ada masalah ya, sama Janggan?"

Alis Gati langsung tertaut, membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja di pangkuan. "Nggak, masalah apa? Aku nggak ngerasa ada masalah sama Janggan."

"Yakin?" Pandangan lelaki itu menyelidik.

"Beneran, Mas. Tapi emang agak aneh sih, dia hari ini. Selama di kampus tadi aja aku dicuekin. Aku samperin ke kelasnya, mau nebeng pulang, dia malah milih nganter si cantik jelita Ulya which is nggak kayak biasanya. Aku chat dibaca doang."

"Kamu buat salah kali, Dek. Soalnya tadi dia sempet ke sini, Mas kira mau sekalian pulang bareng abis urusan administrasi Mas selesai, ternyata nggak. Katanya, males ketemu kamu."

"Loh ... berarti beneran ada yang nggak beres. Nanti aku coba ke rumahnya, deh."

Mendengar itu, senyum miring Gale terbit. "Emang kamu nggak canggung tah, Dek?"

"Canggung kenapa?" Gati semakin dibuat bingung.

"Kan malem itu ... dia bilang suka ke kamu, kan?"

Mata Gati membulat, lantas mengerjap beberapa kali. "Mas denger?"

"Gimana nggak denger, wong dia teleponan sama kamu aja di ruangan ini. Kebetulan Mas lagi setengah sadar denger orang ngobrol, ya sekalian nguping."

Gati mendesis. "How careless!"

-o0o-

"Janggan! Ja, buka pintunya, dong!" Gati tak henti mengetuk pintu kaca kamar lelaki itu. Sudah hampir dua menit ia melakukan hal yang sama, tetapi si empu kamar tampak belum berniat membukakan pintu. Sedikit bisa mengintip, Gati bisa melihat bahwa Janggan sengaja mengabaikannya dengan mengutak-atik komputer di depan meja. 

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang