37. Bare Minimum

82 13 12
                                    

"Olive emang suka kayak gitu ke Janggan, Mas?" Gati tak tahan untuk tak bertanya. Melihat tingkah Olive yang sedari tadi tak jauh-jauh dari Janggan rasanya mengganggu pemandangan. Bukan apa-apa, pasalnya jelas kentara bahwa lelaki itu tak nyaman, mungkin tak enak mengatakan. 

Tak mau membuat masalah dengan Gati kali ini, sambil mengiris steik ayam di atas piring Danu menjawab, "Luwih soko kui keseringan, Gat. Udah pernah ditegur Janggan, tetep aja."

Gati meringis begitu mendapati Janggan menghela napas panjang, jelas menahan emosi. Olive memang sedikit keterlaluan. Sejak tadi tangannya selalu berusaha membuat skinship dengan lelaki itu, mulai dari mengulurkan tisu, minta tolong diambilkan salah satu hidangan, sampai pura-pura kelilipan. Gati tak buta untuk melihat bahwa tindakan Olive sekadar pura-pura, hanya agar mendapat kesempatan.

Usai acara, mereka semua mengadakan makan bersama di salah satu restoran keluarga, sengaja disewa selama beberapa jam sesuai rundown. Banyak kroser dan staf berkumpul untuk bercengkrama, mereka terbagi dalam beberapa meja. Gati tentu bergabung dengan Danu, sesuai janji, sedangkan Janggan duduk di meja lain. Entah keberuntungan macam apa yang diterima Olive sampai perempuan itu dapat ikut berada di sana.

"Iki tenan calonmu, Dan? Bukane Gati sama Janggan, yo?" Salah seorang kroser bernama Wahyu bertanya. Tempat duduknya yang berada di seberang Gati memudahkan lelaki itu menatap keduanya yang duduk bersisian. Sekali ia juga sengaja menoleh ke arah Janggan duduk untuk memastikan.

"Sama Janggan opo? Mereka itu cuma temen, tetangga pula," jawab Danu mantap, yang sama sekali tidak dipermasalahkan Gati, toh memang benar begitu adanya.

"Jadi, beneran sama Danu kamu, Gat?" timpal seorang staf bernama Heri. Dibanding yang lain, lelaki bertubuh gempal itu terbilang yang paling mengenal Gati.

"Opo sih, Mas? Yo nggak, lah. Ini karena Mas Danu ulang tahun, jadi kuturutin aja maunya hari ini." Satu ujung bibir Gati tertarik ke atas. "Lagian loh, aku masih kuliah, aku ini masih muda banget, Mas Her. Belum mau mikir sampai sana aku."

Meskipun tak bermaksud apa-apa, tetapi Danu jadi mati kutu jika begini. Sebuah penolakan tersirat, lagi. Lelaki itu mendesis dan menimpali, "Tapi kamu janji habis event loh, Gat."

Gati menusuk mantap irisan daging dengan garpu, sedang tatapannya tak beralih sedikit pun dari Danu. "Sudah kubilang, silakan kalau mau ketemu Romo. Kan nggak ada keharusan bagi aku buat mikir sampai sejauh itu, tho?"

Semua orang yang mengelilingi meja bundar itu mengulum senyum, tak asing dengan kelugasan seorang Gati Rukma.

"Oh iya, Mas Danu. Jangan lupa, loh. Aku ada dua mas yang siap baku hantam kapan aja." Niat Gati satu: membuat Danu takut dan urung merealisasikan niatnya, meskipun itu bukan strategi utama.

Danu berdecak, "Ndak takut aku karo Mas-mu, Gat. Orang kalau udah jatuh cinta itu kewarasannya berkurang. Mbok pikir aku ini main-main suka sama kamu? Tingkatnya itu udah bukan suka lagi, tapi cinta."

Ucapan blak-blakan Danu jelas mengundang sorakan. Gati sendiri langsung memasang ekspresi bak mau muntah.

"Jangkrik lah, Mas. Nggilani!" umpat Gati, yang semakin menyulut sorakan, hingga membuat orang-orang di meja lain ikut menaruh atensi.

"Suka aku cewek kayak Gati begini, blak-blakannya itu, loh." Heri terbahak sampai memegangi perut.

"Setuju, kapan lagi Danu dibuat mati kutu begini yo, Mas?" sambung Bambang.

Tampang Danu kecut seketika. "Mbok ya bantu aku dikit gitu loh, Gat," protesnya.

"Aku cuma ngikutin kata hati, Mas," ejek perempuan itu.

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang