Keduanya benar-benar masuk ke kompleks Keraton. Meski Gati sempat memprotes keras, tetapi ia sungguh tak bisa berbuat apa-apa, Langgeng tak kalah kukuh. Usai membeli tiket masuk tadi, Langgeng langsung mengajak Gati berkeliling, menyelami sentuhan kental budaya Jawa yang tersaji di tiap ornamen bangunan.
Sementara itu, Gati hampir tak bisa menikmatinya. Sebab alasan yang sama, ia takut orang tuanya benar berada di sana. Melihat pertunjukan tari di Bangsal Srimanganti seolah menjadi agenda wajib Wira dan Rukmi tiap minggu, entahlah kenapa mereka tak ada bosannya. Tak mustahil jika hari ini mereka melakukan rutinitas yang sama.
"Mas, berarti konsep tadi nggak berlaku buat keberadaan Tuhan dong, ya?" Bertanya adalah satu upaya Gati untuk meredakan waswas dalam dada, meski masih berjalan sambil celingak-celinguk di samping Langgeng.
"Konsep ini hanya berlaku untuk makhluk. Mana mungkin Tuhan memerlukan batas untuk menjadi 'ada'? Tuhan adalah Dzat yang nggak terbatas," jawab Langgeng santai, setengah geli melihat tingkah Gati.
"Jadi tujuan Mas bahas ini beneran ada kaitannya sama aku?" Gati berjalan selangkah lebih cepat sebelum berbalik badan, berjalan mundur. Ikatan rambutnya terayun saat beberapa kali ditolehkannya kepala, melihat jalan agar tak jatuh.
"Batas." Langgeng mengedikkan bahu. "Masalah lo saat ini kan berkaitan sama batas, baik lo sendiri, keluarga lo, keinginan mereka. Semuanya tentang batas yang mungkin lo sendiri nggak sadar kalau ini hal krusial."
Langgeng meraih satu bahu Gati, memutar posisi gadis itu agar berjalan sesuai semestinya. "Kalau lo jatuh ntar gue yang repot."
Decakan lolos dari bibir gadis itu. "Sambil duduk aja, deh. Lagian masih ada waktu sebelum pertunjukan mulai."
"Oke," jawab Langgeng singkat.
Lelaki itu melanjutkan setelah keduanya duduk di bangku yang ada. "Manusia itu diciptain Tuhan dengan keterbatasan, menurut lo kenapa begitu?"
"Ya kalau diciptain tanpa keterbatasan, emang mau nyaingin Tuhan?"
Merespons jawaban sembrono Gati, Langgeng terkekeh kecil. Tampaknya, Gati ini punya bibit-bibit manusia manipulatif jika dikembangkan. Ia sadar Gati sering menjawab pertanyaannya dengan balik bertanya.
Langgeng menyapukan pandangan jauh ke depan, mengamati beberapa pelancong yang juga punya tujuan sama, pertunjukan tari. "Manusia dibuat punya keterbatasan untuk mengenal batasnya, mengenal dirinya, mengenal sekitar, juga mengenali Tuhan.
"Contoh kecil gini, gue lebih bisa Olahraga daripada Matematika. Oh, gue sadar nih, potensi gue di luar akademik, kecerdasan gue adalah kinestetik, bukan di logika Matematika, batas gue ya berarti memang di non-akademik. Mau gue berusaha sampai jungkir balik juga pasti nilai olahraga gue bakal lebih baik daripada Matematika.
"Gue sadar di mana batas gue, jadi daripada gue ngejar yang hampir nggak mungkin, mending gue mengembangkan apa yang memang gue kuasai. Keterbatasan itu, kalau kita pahami, bakal bawa kita pada mengenali diri dengan lebih baik. Kita jadi lebih bisa menentukan arah hidup, tahu apa yang sebenernya kita mau dan kita butuhin."
Gati menunduk, mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan Langgeng, sedang beberapa kali matanya mengedip saat kontradiksi muncul di kepala.
"Sampai sini lo ngerti maksud gue?" tanya Langgeng.
Gati menoleh dan mengangguk, belum ingin menginterupsi.
"Gue ajak lo mikir lebih abstrak lagi." Ucapan Langgeng sukses membuat Gati memicingkan mata. "Batas diri dan batas konsep."
Tanpa diduga, Langgeng sengaja menarik rambut Gati yang terikat hingga gadis itu mengaduh. "Sakit?" tanyanya.
Bibir Gati mencebik. "Pake nanya. Lagian jail banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Define
Fiksi UmumDefinismu tentang banyak hal adalah subjektif, lebih sering persuasif, pun tak jarang manipulatif. Inginmu semua orang percaya, cara apa pun kauraba, termasuk lewat amarah juga memutarbalik fakta. Benar yang saling berbentur tak membuatmu kalah dala...