30. Kekuatan Lisan

70 14 5
                                    

Sekaleng kopi instan terangsur tepat di depan muka, membuat Gale spontan mendongak melihat siapa sang pemberi. Diamatinya perempuan berjilbab pashmina shawl brownie berdiri menjulang di hadapannya yang duduk di bangku taman kampus. 

Tak kunjung diambil, minuman kaleng itu digoyangkan pelan, sebuah kode agar segera diraih.

Begitu Gale menerimanya, perempuan tersebut ikut duduk di sebelah. Tak sepatah kata pun terucap, justru matanya langsung menerawang jauh, sesekali merasakan embus angin yang membelai wajah ber-make up tipisnya. 

Gale membuka kaleng, meminum satu tegukan sebelum ikut menyapukan pandang ke depan lantas berujar, "Dree, kamu inget pembahasan kita tentang etika? Yang di kafe dan berakhir kamu ketemu sama orang tuaku itu."

Dree hanya mengangguk sebagai balasan, yakin Gale melihatnya meski hanya lewat lirikan.

"Menurutmu, apa etikaku selama ini sudah baik? Terhadap orang tuaku, terhadap Gati, terhadap sekelilingku." Suara Gale melirih di ujung kalimat, sedikit bergetar. 

Menyadari hal tersebut, Dree spontan menoleh dan mendapati Gale sudah menatapnya. Perempuan tersebut terhenyak. Sorot mata Gale lebih sendu dari sebelumnya, setengah hampa. Sekeliling iris lelaki itu juga sudah memerah, kentara menahan tangis. Detik berikutnya, Gale menunduk dalam.

Rasanya sikap tenang itu langsung raib dari diri Dree, kalimat yang ia susun dalam kepala berantakan seketika, pun yang sudah ada di ujung lidah. Gale tidak pernah terlihat selemah ini.

"Aku nggak berhasil menuhin kewajiban aku sebagai anak yang selalu berbakti, aku gagal menuhin tanggung jawabku sebagai sosok kakak yang bisa lindungin adiknya, aku bahkan nggak bisa jadi teman yang baik, Dree. Semua tindakan yang aku anggap bener, ternyata malah kasih dampak negatif buat aku sendiri dan orang lain." Sebulir air mata sukses jatuh, tetapi langsung diusapnya kasar.

 Dree langsung sibuk mencari barang yang sering dibawanya di dalam tas guna menghalau panas saat berangkat atau pulang kampus. Menemukan yang dicari, tanpa repot meminta izin Dree langsung memasangkannya di kepala Gale. Sebuah topi berwarna putih bertengger di kepala lelaki itu, membuatnya kembali sedikit mengangkat wajah.

Senyum tulus tersungging di bibir Dree, sedang sorot matanya penuh ketegasan. "Nangis aja, it's ok."

Sebelah tangan Gale yang bebas dari kaleng kopi seketika terangkat, membetulkan posisi topi agar lebih menutupi wajahnya. Tangis lelaki itu tumpah meski tanpa suara, dan Dree menunggunya dalam diam, dengan perasaan tercabik luar biasa.

Setelah reda tangisnya, Gale kembali mengangkat wajah, menoleh ke arah Dree yang kini memandangi ujung sepatu sambil menggoyangkan kaki pelan. Perlahan, senyum terulas di bibir lelaki itu.

"Dree." Panggilan Gale sukses membuat Dree balas menatap. "Terima kasih."

Hanya sebuah anggukan serta seulas senyum yang diberikan Dree sebagai balasan, tetapi sukses menghantarkan rasa hangat ke dalam dadanya. 

Semenit penuh diam, Dree akhirnya bertanya, "Gati belum ada kabar?"

Gale mendongak, menatap dahan besar pohon yang menaungi keduanya dari panas. Titik-titik cahaya menghias wajah pucat Gale, hasil menembus celah dedaunan yang tak sepenuhnya membentuk kanopi.

"Janggan udah tahu di mana Gati." Gale menggeleng sambil tertawa getir. "Tapi dia nggak mau sekeluargaku tahu, Dree."

"Kenapa begitu?" tanya Dree hati-hati, "bukannya kalian kerja sama cari Gati 2 hari terakhir?"

Gale melepas topi dan mengusap wajah kasar. "Mau sekeras apa aku mikir, aku tetep nggak ketemu alasan logisnya. Janggan seolah berbalik nyerang keluargaku atas perginya Gati, meskipun aku nggak mengelak itu. Dia bersikap seolah kami, Ibuk terutama, pantas buat menerima sikap Gati yang kayak gini, bahwa kami pantas mendapat hukuman dari Gati.

Re-DefineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang