Dentingan bunyi gelas kaca model flute yang berisi minuman berwarna kuning berkilau saling beradu nyaring.
"Cheers." Zoe, dengan suara lembut bagai sutra memandang penuh minat pada lelaki yang duduk di sebelahnya sambil menghirup Masi Mazzano yang terasa mewah di dalam mulut.
Lelaki itu menggenggam bagian leher gelas dan memutarnya sekilas di antara jemarinya. Mata hijaunya memandang penuh arti cairan merah pekat itu dengan perut yang bergejolak. Ia ingin sekali meneguknya sampai habis, tapi itu artinya pertahanannya terhadap alkohol akan runtuh begitu saja setelah berbulan-bulan lamanya.
Zoe mengedikkan dagu dan mengangkat sebelah alisnya, meminta Taylor untuk segera merasakan minuman rekomendasinya.
Seperti kerbau dicocok hidung, dalam hitungan detik, kenikmatan Mazzano mengalir hangat di dalam tenggorokannya yang sedari tadi sudah terasa kering kerontang.
Taylor mengernyitkan wajah dan memandang kembali gelasnya yang kini kosong. "How many percent?"
"16%. Mau tambah?" Tanpa perlu mendengar jawaban, Zoe sudah menuangkan Mazzano ke gelas milik kekasihnya.
Mereka berdua saling berbincang seru di atas sofa apartemen Zoe di daerah Epsom. Jauh-jauh Taylor mengendarai mobilnya hanya untuk menemui wanita itu yang sedang galau akibat bos baru di tempat kerjanya begitu galak dan tidak humanis. Taylor hanya mengusap punggung tangan Zoe untuk menangkannya. Lelaki itu memicingkan mata ke arah sinar mentari sore yang menembus lewat jendela besar di depan mereka.
Zoe memiringkan kepalanya, meneliti setiap lekukan wajah Taylor yang rupawan di matanya. "Pipimu seperti dipahat langsung oleh seniman terbaik, sayang." Zoe mengusap rambut Taylor yang bergelombang, menyingkirkan helaiannya dari depan dahi Taylor.
Taylor hanya tersenyum biasa menanggapinya, sebab sebagian pikirannya sekarang sudah tidak ada lagi di sana. Ia menambahkan segelas minuman itu lagi, meneguknya sampai habis, dan kembali memandang Zoe.
Wanita yang sungguh berkelas, pikir Taylor. Rambutnya sama bergelombang dengannya, tapi hanya di bagian bawah saja. Dari warna-warni polesan tebal di wajah Zoe, Taylor tahu ia sengaja menyiapkan riasan terbaiknya untuk menunggunya datang. Wanita berusia 25 tahun itu memakai baju terusan berwarna merah, tampak berani. Anting perak terang di sisi telinga Zoe membuat Taylor memperhatikannya lebih lama.
Zoe sudah merasakan jantungnya berdegup ditatap seperti itu untuk pertama kali oleh kekasih hatinya. "Kenapa?" tanyanya, berharap Taylor memuji pengorbanan dan kecantikannya.
"Tidak," jawab Taylor dan membuang muka. "Tidak apa-apa." Ekspresi Taylor begitu datar. Ia sepertinya lebih senang dengan rasa Mazzano, alih-alih seseorang yang memperkenalkannya.
Zoe mendekatkan tubuhnya yang sudah sangat wangi. Membuat Taylor mengusap hidungnya tanpa menunjukkan ketidaknyamanannya. Wanita itu menyentuh dagu Taylor dan membuat kepalanya menghadap dirinya. Hidung mereka teramat dekat. Nafas hangat Zoe berhembus ke pipi kekasihnya.
Taylor memandang dengan sayu mata cokelat Zoe lekat-lekat. "Yes?" ujar Taylor. Ia sampai harus berpikir keras kenapa Zoe berada begitu dekat dengan tubuhnya seperti ini. Dia sadar tak sadar memerhatikan wanita matang di depannya.
Zoe mengusap rambut Taylor dengan penuh kasih sayang. "You are an artist, which is a work of art itself," bisik Zoe.
Taylor menyorot mata kanan dan kiri Zoe bergantian. Kenapa kalimat itu terdengar tidak asing di telingaku? Siapa yang pernah mengatakan hal itu padaku? Tanya Taylor dalam hati. Ia jadi kesulitan berpikir.
Zoe mendekatkan wajahnya ke wajah Taylor, tapi Taylor bergerak mundur dan melotot ke arah wanita yang sudah kepalang cinta itu. Tapi Zoe tidak peduli dan dia mencoba menghentikan waktu. Taylor tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pikirannya melayang, namun bukan terbang karena sentuhan di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...