Unfinished Sadness.

18 5 0
                                    

Hanya suara klakson mobil dari kejauhan dan sayup-sayup roda obat yang dibawa perawatlah yang terdengar detik ini. Sekarang menunjukkan pukul sembilan malam dan udara-seharusnya-sangatlah dingin. Namun, hati masing-masing kedua lelaki berusia 26 tahun yang duduk di paviliun rumah sakit sedang panas-panasnya. Albert sedang tersedu-sedu tanpa suara. Mengingat kejadian itu membuatnya ingin menghantamkan kepala ke nisan orang tuanya untuk menghukum diri sendiri.

"Seandainya aku datang lebih cepat..." Albert tidak seterlambat itu, sebenarnya. Beruntung telepon Emma yang terhubung kepadanya belum dimatikan, sehingga ia dengan jelas bisa mendengar adu argumen sengit dari Zoe dan Miller. Mendengar dua orang itu menyerang Emma secara bersamaan, membuat Albert buru-buru pulang dari tongkrongannya bersama kawan-kawan. Ia juga langsung meminta Fransesca, Stefan dan Alex agar cepat pulang dan jangan berlama-lama lagi di toko Play Station. "Kami sedang bersenang-senang di luar sana, padahal Emma tengah mempertaruhkan nyawanya." Albert tersedu lagi.

Taylor mengerjapkan mata dengan lemas. Dia sama murkanya dengan Albert. Miller benar-benar bajingan, batinnya geram.

"Jadi, Miller membenci Emma hanya karena ketika ia lahir orang tua kalian langsung tiada?" tanyanya.

Albert menghirup nafasnya. "Begitulah hipotesis kami semua. Miller memang paling tidak dekat dengan Emma sejak dia kecil. Namun, kami kira saat dewasa semuanya akan berubah. Nyatanya tidak. Malah makin parah," jelas Albert. Taylor diam mendengarkan, menunggu kelanjutan. "Sebenarnya Miller sudah tampak terbuka hatinya kepada Emma. Selama setahun terakhir. Namun sayangnya, benar kata Emma saat kejadian kemarin-semenjak ada Zoe, Miller kembali dingin. Bahkan jauh lebih cuek, padahal Emma sedang membutuhkan sosoknya."

"Sudah ada kabar kenapa Zoe bisa memengaruhi Miller dengan buruk seperti itu?" tanya Taylor, penasaran. Dia tidak pernah menyangka sosok wanita seperti Zoe, yang nampak elegan dan si paling alpha woman, bisa semanipulatif itu.

"Sudah," jawab Albert. Dia memandang wajah Taylor, menganggapnya sebagai sahabat dekat, bukan seseorang dari masa lalu Zoe. "Intinya Zoe bilang kepada Miller bahwa Emma selalu menunjukkan gelagat tidak suka padanya. Mengarang cerita, wanita itu. Dia berkata Emma inilah, itulah. Mencari-cari kesalahannya. Bahkan yang tidak ia perbuat."

Taylor mengangguk, tak perlu dijelaskan lebih jauh juga ia sudah paham betul apa yang dibicarakan oleh Zoe. "Lalu bagaimana Miller sekarang?"

"Yah... dia pada akhirnya harus konseling lagi. Dulu dia juga pernah terapi dengan Bibi Jade karena sempat percobaan bunuh diri. Waktu itu memang bukan mental disorder, tapi harus tetap diintervensi karena emosinya memang tidak stabil. Kira-kira begitu. Seperti... terapi kebersyukuran dan lain sebagainya. Kalau untuk saat ini, ya wajib diperiksa lagi lewat psikotes. Takutnya memang ada gejala gangguan mental yang waktu itu tidak terdeteksi. Soalnya amarah kepada Emma sangat parah, seperti Emma ini... anak yang nakal dan menyebalkan. Padahal cara komunikasi Miller kepadaku dan saudara yang lain, apalagi rekan kantor dan teman-temannya, tampak baik-baik saja. Dia hanya emosian pada Emma. Jelas masalahnya ada di sudut pandang Miller," Albert menjelaskan. Taylor diam tercenung, dadanya masih terasa sesak membayangkan Emma dipukul, ditendang, dan dibanting-banting ke lemari. "Kami sebenarnya merencanakan membawa ini ke jalur hukum."

Deg. Taylor menatap Albert lamat-lamat.

"Dia sebenarnya harus mendapatkan konsekuensi. Dia terlalu tenggelam dalam masa lalu mum dan dad-walau itu sudah 16 tahun yang lalu. Makanya aku juga agak was-was menunggu hasil konseling dari Bibi Jade, apakah ada penyebab lain yang membuat dia sejahat itu pada Emma. Meski begitu, sebenarnya dia bisa terkena pasal kekerasan terhadap anak di bawah umur. Hanya saja... prosesnya selain akan rumit, aku juga yakin Emma tidak akan ikhlas kakaknya masuk penjara. Yang ada hidup kami akan semakin hancur. Dia memang tulang punggung keluarga, pemegang aset terbesar dari warisan orang tua kami. Sebenarnya aku bisa saja menggantikan posisi Miller di kantor dad, tapi aku tak akan sanggup. Aku lebih memilih fokus menjadi manajer pabrik cokelatnya saja, daripada harus jadi pemimpin langsung."

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang