Mr. Taylor baru saja bermimpi cukup aneh. Sangat aneh sampai-sampai ia mengira itu adalah sebuah kejadian nyata. Ia baru tersadar bahwa adegan itu sama sekali tidak pernah dialaminya, mungkin sampai kapan pun sejak hari ini-ketika ia terbangun di dalam ruangan departemen seninya sendirian. Tubuhnya sedikit menggigil dan jemari tangannya mulai agak membeku sebab AC menyala yang terlalu dingin di tengah hujan deras di luar seperti ini.
Ia menegakkan tubuh. Leher belakangnya sakit. Ia memang agak pening dan terasa semakin berputar-putar karena ia juga bermimpi kepala sakit. Ia menaruh kepalanya di bagian atas kursi kerjanya. Merasakan tiupan air conditioner serta mendengarkan dengan saksama tetesan hujan deras yang menabrak-nabrak jendela ruangannya.
Ia memejamkan mata lagi, tidak berusaha untuk melanjutkan tidur tapi mencoba mengingat semuanya.
Mimpi tadi benar-benar tidak seperti mimpi, batinnya heran.
Ketika tidur tadi, ia sedang berada di tangga lantai dua. Hendak turun menuju ke kelas seni untuk mengajar seperti biasa. Namun, di tengah-tengah anak tangga kepalanya tiba-tiba sakit. Bahkan di dalam mimpi itu Mr. Taylor masih bisa berpikir untuk memutuskan apakah akan beristirahat sejenak atau lanjut ke kelas. Dan yang ia pilih adalah berhenti dulu, lalu mendekati pegangan tangga dan menaruh kepalanya di atas lengannya. Ia menelungkup begitu saja di pegangan tangga untuk rehat sejenak. Ia mendengar suara anak-anak di lorong dan seseorang dengan langkah ringan yang menaiki tangga.
Mr. Taylor lalu mendongak karena takut ada guru lain yang hendak lewat. Namun ia malah mendapati Emma yang sedang memandangnya-dipisahkan dengan tiga anak tangga saja. Rambutnya dikuncir dua. Wajahnya segar. Tubuhnya juga masih bugar.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya. Di dalam mimpi itu, Mr. Taylor bisa merasakan dadanya bergetar sedikit. Saking girangnya, ia sampai tidak menjawab dengan sepatah katapun dan hanya nyengir kecil.
"Mau kemana Emma?" tanya Mr. Taylor pada akhirnya. Padahal itu di dalam mimpi, tapi ia sampai bisa berbasa-basi dengan diawali kebimbangan.
"Menyusulmu, Mr. Taylor," kata Emma. Ia lalu tersenyum manis, membuat Mr. Taylor terhipnotis dengan mata cokelat itu. Kemudian Emma berbalik begitu saja, meninggalkan Mr. Taylor yang merasa dirinya hampir menghilang.
Karena Mr. Taylor tahu ia hendak terbangun dari mimpi singkat dan indah itu, ia pun berteriak-teriak memanggil Emma. Mencoba bertanya kapan ia akan masuk sekolah lagi, tapi yang ia dapati adalah mulutnya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Hingga pada akhirnya ia terbangun di ruangannya sendiri.
Mr. Taylor membuka matanya setelah mengingat mimpi itu dengan teliti. Sekarang hatinya sedikit sakit karena menyadari bahwa Emma memang tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak kejadian di University Expo tempo lalu. Lebih tepatnya, sudah satu bulan pas Emma tidak datang ke sekolah. Tidak satu bulan, jika saja pada hari Jum'at pertengahan Maret Mr. Taylor jadi menengoknya di rumah bersama Paulina. Namun sayang, saat itu Emma sedang pergi ke rumah sakit. Sialnya juga, Mr. Taylor tidak menanyakannya pada salah satu kakaknya dan sampai sekarang Emma tidak pernah membalas semua pesan-pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...