The Departement of Art

19 6 0
                                    

Hidup Emma terasa lebih cepat dari biasanya. Mencoba memperlambat waktu dengan sering-sering melirik jam malah membuatnya semakin merasa dikejar malaikat maut. Apalagi hatinya selalu berdesir jika ingat akan sekolah online sendirian di rumahnya. Jadi, dia memasukkan jam tangan cokelatnya, berjanji untuk tidak mencoba ribet dengan waktunya yang semakin berkurang, dan fokus mengobrol dengan Kim, Ben, George, Charlotte, Grace, dan Alex. Mereka sedang membicarakan kelas online Emma. George mengatakan Miller sudah bertindak gegabah.

"Maaf, Emma, Alex-tapi seharusnya dia meminta persetujuan kamu dulu. Bukan begitu?" George memainkan rambut ikalnya.

"Ya, begitu," sahut Emma. "Ternyata Miller dan kakak-kakakku yang lain sudah merundingkannya di belakangku."

"Cuman aku aja yang gak tahu, karena mereka sudah bisa menebak aku akan protes dan melawan. Kalau sudah ada deal tanda tangan kita bisa apa, 'kan?" ujar Alex lemas. Dia berulang kali ingin sekali mengambil kelas online sama seperti Emma, tapi sayangnya kondisi fisiknya begitu paripurna. Soal depresi yang diidapnya? Itu tidak pernah menganggu kegiatan belajarnya. Lagipula, sudah hampir sembuh total berkat terapi rutin dari Bibi Jade.

"We'll miss you," Charlotte memegang tangan Emma yang dingin.

"Ah, jangan mulai." Kim memutar bola matanya sambil nyengir, dia tidak mau sedih-sedihan. Sudah cukup mendengar kabar vonis kematian Emma-menurut prediksi manusia-yang berarti hanya tersisa 5 bulan kurang. Itu waktu yang sangat singkat, dan jujur dari hati yang paling dalam, mereka juga agak kontra dengan keputusan Miller yang seakan-akan menjauhi Emma dari sumber keceriannya. Namun di sisi lain, mereka juga pro dengan pengambilan kelas online itu sebab bisa jadi jika tidak terlalu kecapaian, Emma akan lebih cepat pulih dan usianya akan lebih panjang.

Bel masuk berdering. Circle anak rajin yang selalu datang 30 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai itu meninggalkan taman yang sepi dan dingin. Rerumputan yang berembun karena hujan tadi malam membuat Emma terus mencoba untuk membuka kesadaran sepenuhnya. Semenjak vonis dokter Brennet, ia jadi lebih sering memandang sekitar, menghirup dengan fokus, mendengar dengan teliti, dan merasakan segalanya menggunakan hatinya. Ia baru tersadar bahwa rumput taman Effingham begitu harum dan menenangkan. Pun begitu juga dengan setiap ruangan yang hiasan dindingnya berbeda-beda dan patut untuk diperhatikan secara lebih detail. Termasuk kelas Sastra Inggris Ms. March yang penuh dengan kutipan-kutipan yang bila dimaknakan lebih dalam, mereka bisa memiliki arti yang luar biasa.

Emma yang sudah merasa puas mengamati kelas Sastra Inggris lamat-lamat ke dalam pikirannya mulai melakukan hal yang sama di kelas seni.

Kelas itu selalu wangi kopi tapi tidak membuat mual. Dindingnya penuh dengan beberapa cetakan lukisan paling terkenal di seluruh dunia. Di meja belakang Mr. Taylor dan pihak sekolah memang menyiapkan beberapa alat seni sederhana, tapi umumnya hanya sebagai praktik kecil-kecilan untuk kegiatan di dalam kelas. Melihat itu, Emma jadi teringat dengan ruang seni di lantai dua. Ia rindu sekali datang ke ruangan itu dan main clay. Semester ini, tepatnya pada saat ujian akhir nanti, Mr. Taylor sudah mengumumkan bahwa ujian mereka diganti menjadi praktik seni lukis. Itu artinya, mereka akan melukis di sana dengan masing-masing anak di depan canvas dan menorehkan berbagai warna cat sebebas imajinasi mereka.

Dan belum pernah sebelumnya, Emma memandangi Mr. Taylor seperti itu. Matanya yang bulat tidak pernah lepas sedetik pun dari gurunya. Ada tatapan sayu di sana, seperti seseorang yang tahu dirinya akan berpisah dengan semua orang, termasuk sang guru seni. Emma berkedip agak cepat karena takut kelopaknya tidak akan membuka lagi. Ia bisa merasakan setiap intonasi suara Mr. Taylor yang ternyata begitu stabil dan juga tidak membosankan. Ia baru sadar Mr. Taylor tidak sesering itu tersenyum di kelas-bahkan mungkin termasuk guru yang jarang senyum. Emma juga semakin mengakui betul bahwa apa yang dikatakannya pada Fransesca, Mr. Taylor adalah guru yang tampan dimatanya (dan ia tahu itu tidak berlaku di mata teman-teman ceweknya yang lain). Semua orang jatuh cinta dengan Mr. Frederick meskipun istrinya ada di sana mengajar juga, tapi Emma tetap menyukai Mr. Taylor karena kecerdasan dan kebaikannya yang hanya bisa ia rasakan sendiri. Tentu saja.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang