Alex murung di hari Senin semester baru. Ia berulang kali mengecek ponselnya dari bawah kolong meja. Menunggu dengan was-was kabar Emma telah siuman. Ia juga telah mewanti-wanti orang rumah, jika ada sesuatu yang buruk terjadi sekecil apapun itu, beritahu dia.
Mr. William masih terus menjelaskan rencana pembelajaran yang akan mereka hadapi, termasuk mengingatkan kembali soal peraturan kelas yang melarang siswanya bermain ponsel ketika jam pelajaran. Rambut guru matematika tersebut sebagian sudah memutih dimakan usia, tapi fisiknya mengingatkan semua orang dengan aktor ternama James McAvoy, baik dari struktur wajah maupun senyumannya. Guru-guru di Effingham memang menjaga kesehatan mereka, termasuk Mr. William yang begitu bugar, berbadan besar dan ototnya yang kokoh di balik jas biru tua yang ia pakai.
Alex tidak sependapat dengan teman-temannya soal McAvoy. Ia lebih senang berpendapat bahwa Mr. William selalu menyuguhkan perasaan getir di dalam dadanya. Guru favoritnya itu sangat sangat sangat mirip dengan Abraham, ayah kandungnya yang telah tiada. Alex belum pernah bertemu dengan dad secara langsung, hanya melalui foto-foto yang dipajang di rumah. Itu tidak membantu banyak, sebenarnya. Kalau hanya sebatas foto, Alex tidak bisa membayangkan bagaimana sosok aslinya, caranya berbicara, dan gerak-geriknya. Abraham pernah meninggalkan beberapa video saat ia menikah dengan mum dan ketika ia mensahkan perusahaan cokelatnya. Alex selalu tak bisa menahan tangisan dan kesedihan. Akan berakhir mengurung diri di dalam kamar dan meratapi kepergian Abraham, meski ia belum pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Jadi, ia pun memutuskan untuk berhenti menonton cuplikan kenangan itu dan lebih memilih tidak tahu apa-apa mengenai orangtuanya.
Namun sayang, sosok Mr. William tidak bisa dihindari. Ia harus bertemu dengannya selama dua kali dalam seminggu dan seringkali melakukan komunikasi karena lomba dan sebagainya. Alex mengira beliau adalah reinkarnasi dari ayahnya sendiri. Mungkin dad juga seperti ini ya aslinya? Batinnya menerka-nerka penasaran. Mr. William sekarang berdiri dan mencatat daftar judul buku pengayaan yang bisa murid-murid baca di waktu senggang.
Alex tidak ikut mencatat seperti teman-temannya. Ia menunduk lagi, menarik ponselnya yang tidak ada notifikasi sama sekali. Karena kecemasannya mengganggu pembelajaran, ia pun mengetikkan pesan kepada Albert.
ALEX
Emma gimana?
Udah bangun?ALBERT
BelumALEX
😞ALBERT
Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja.ALEX
Tak bisa.
Aku cemas dari tadi.ALBERT
Dia sering seperti ini dan selalu
survive. Ingat?ALEX
Aku tahu.Alex menggigit bibir bawahnya. Akhir-akhir ini Emma sering tidak sadarkan diri. Dicari tahu apakah ada 'cedera psikologis' yang disimpan Emma rapat-rapat dan mereka tak ketahui—tapi hasil tes kejiwaan yang telah dilakukan kesekian kali tetap mengatakan bahwa anxiety disorder dan PTSD yang diidapnya sudah menghilang entah kemana. Ia sudah selamat dan melarikan diri dari monster-monster itu. Kecuali jika ada perasaan terpendam yang ia tidak bagikan kakak-kakaknya. Namun, setahu Alex, urusan soal Norah sudah ia sampaikan pada Albert, dan ia tidak punya dendam pada Sean meski perlu waktu untuk pulih sepenuhnya.
Jadi, mungkin seharusnya urusan kesedihan jiwa yang selama ini ia rasakan tidak menyebabkan Emma pingsan hampir tiga kali dalam seminggu seperti itu. Apalagi sesekali ditambah darah yang keluar dari hidungnya. Meski darahnya tidak banyak, tapi tetap saja itu sudah menciptakan ketakutan yang luar biasa dipikiran kakak-kakaknya. Terutama Alex.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...