Keluarga Anderson datang pukul 10 pagi; Albert, Fransesca, Alex dan Emma. Keluargaku menyiapkan roti enak khas Prancis, sementara keluarga Anderson membawa makanan khas Rusia.
"Masakan Emma. Akhir-akhir ini dia jadi rajin sekali belajar masak," kata Fransesca. Emma memandang kakak perempuannya dengan lirikan penuh peringatan. Kupu-kupu berterbangan di dalam perutku ketika menyaksikan gelagat keduanya.
Anderson dan Carpenter hanya sekitar lima persen membahas soal penembakan kemarin, keprihatinan dan lain sebagainya. Sisanya, mereka fokus dalam membicarakan kakiku, pengobatan Emma, menertawakan Alex yang banyak tingkah, mengatakan terima kasih karena aku sudah mau mengorbankan menjemput Emma keluar dari perpustakaan, juga membicarakan soal pernikahan Fransesca yang diundur satu minggu dan kami diundang—dan tanpa diduga, Albert mulai mengatakan ingin kerjasama dengan C'est La Vie pada Paulina. Kakak perempuanku itu terlihat geer, sebab sejak awal ia sudah nge-fans dengan Albert.
"Kita bisa kolaborasi, cokelat dan roti yang wangi. Cafe baru, misalnya?" Albert berkata sudah memikirkannya matang-matang, sebab perusahaan dad sejak ia wafat tidak ada perkembangan apa-apa lagi. "Miller juga sudah menyetujuinya."
Saat ia mengatakan Miller, mum dan dad terlihat berjengit. Ekspresi mereka langsung berbeda. Emma, gadis itu memakai rok terusan biru muda yang cantik, juga sampai melirikku seakan ingin melihat reaksiku. Namun, karena aku tidak ada masalah dengan kakak pertamanya, aku menaikkan kedua alisku dengan santai. Emma langsung menahan diri agar tidak tersenyum lebar dan buru-buru menoleh kepada Paulina yang sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan Albert soal toko rotinya.
10 menit kemudian, Emma, Alex, Fransesca, dan Albert makan bersama ketiga anggota keluargaku di meja makan. Senang rasanya melihat keluarga Anderson yang kini giliran menyantap hidangan khas negara asalku di rumahku sendiri. Dadaku sempat membusung sebab merasa bahwa aku sudah ada bekal untuk meminang Emma suatu hari nanti—look, my own new house.
Rasanya ini tidak masuk akal, keluarga muridku dengan mudahnya begitu akrab dengan kedua orang tua dan kakakku sendiri, seakan-akan menang sudah seharusnya kami mengenal lebih dalam.
Setelah makan, kami masih berbincang sebentar dan Albert meminta untuk pamit.
Apa?!
Ya, keluarga Anderson pun pamit dari rumahku. Aku dan Emma saling lirik penuh arti, sebab kami berdua pun tidak menyangka akan sulit untuk berbincang berdua. Pertemuan ini terasa begitu singkat, padahal sudah hampir 2 jam mereka di sini. Anak itu tidak banyak bicara hati ini, mungkin mum juga menyadarinya. Terlihat ada beban lewat matanya yang tulus.
"Emma di sini dulu aja," ujar mum tiba-tiba ketika kami sampai di pintu depan. Emma menatap mum dan hanya tersenyum sopan, ia tampak bingung harus menjawab apa.
"Udah diem di sini aja," sahut Alex selagi ia berhenti membuka pintu mobil. "Katanya kangen Mr. Taylor!" serunya.
"HEH!" seru Emma. Alex mengernyit seperti sok keceplosan dan buru-buru masuk mobil.
Emma meremas tangan Albert dan kakak lelakinya itu menoleh padanya. "Masih mau di sini?"
"Stay here Emma," kata Paulina. Aku hanya diam, tidak memaksa. Aku masih takut jika terlalu menunjukkan perasaanku—seperti yang website YesQnA itu katakan-keluarga Anderson jadi sedikit tidak respect. Padahal sekarang tugasku adalah mencuri hati mereka semua semulus mungkin. Tidak berlebihan ataupun tidak terlalu kurang. Mengikuti alur saja.
"Uh..." Emma menoleh pada Albert dan aku secara bergantian. Wajah bimbangnya membuat kami tertawa. Kuperhatikan ekspresi muka mum dan dad, tampaknya tidak ada masalah. Mereka juga menyukai Emma. "Gak apa-apa deh, pulang aja. Takutnya Mr. Taylor mau istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...