"Apaan sih Mr. Taylor cepu!" Baru juga datang ke cafe C'est L'amour (that's love)—cafe cabang baru bersama Albert dari resto C'est La Vie (that's art of life)—Emma sudah misuh-misuh seakan melabrak gurunya yang sedang makan puding Liégeois. Mr. Taylor yang hendak menyuap langsung mengatupkan mulut dan menatap Emma yang duduk di hadapannya dengan mata bulat melotot.
"Cepu apa, Emma?"
"Cepu sama Miller aku mau ke Disneyland bareng dia!"
Mr. Taylor ikut terkesiap, ia mengerjap senang. "Kamu sudah mulai mengobrol dengan Miller? Bagaimana sekarang?"
Emma menghela nafas pelan, menenangkan diri. "Aku ke sini mau ajak Mr. Taylor ke rumah sakit Royal Park Surrey."
"S-siapa yang sakit?"
"Miller. Aku nanti cerita di mobil ya. Mr. Taylor ada waktukah hari ini? Miller ingin bertemu katanya," jelas Emma.
"Ada, sayang. Ayo kita ke sana. Mau bawa cake apa buat Miller? Siapa yang jaga di sana? Berapa orang? Biar rotinya sekalian bawa banyak. Kamu udah makan?" Mr. Taylor berdiri dan terlihat malah ia yang sekarang misuh-misuh. Emma menertawakan tingkah laku gurunya yang langsung gesit dan sigap.
"Hahaha lucu banget," katanya.
"Ehhh bukan lucu-lucu. Cepet pilih dulu kuenya!" Mr. Taylor menarik tangan Emma, nampak wajahnya berubah menjadi merah jambu, juga agak menghindari tatapan gadis itu.
Mr. Taylor membawa Emma ke depan etalase kue-kue basah. Semuanya dihias secara cantik dan berlapis-lapis, berwarna-warni dan tampak menggiurkan. Para pegawai toko, terutama yang sedang mengelap meja, semuanya memandang Emma dengan tatapan terpesona.
"Yang ini enak, ini juga enak. Mau yang itu? Gak usah bayar," Mr. Taylor membuat Emma memicingkan mata padanya. "Apa?"
"Jangan gak bayar. Nanti aku males ke sini lagi," kata Emma dan meminta pegawai toko di balik etalase untuk mengeluarkan kue keju.
Mr. Taylor pun diam dan membiarkan Emma membayar semuanya. Ketika Emma mengeluarkan dompet, belasan uang-uang koin recehan berhamburan ke atas lantai dan mengeluarkan bunyi yang bising.
"Kata saya juga apa, jangan bayar. Kualat jadinya." Mr. Taylor berjongkok dan membantu Emma memungut koin-koin itu.
Mr. Taylor mengernyitkan dahi, mengangkat koin itu ke depan matanya. "Ini koin Funfair?!" Mr. Taylor heran Emma menyimpan koin game arcade sebanyak itu di dompetnya.
"Hehe." Emma hanya menyahut singkat. Mr. Taylor menjitak dahi Emma dan berdiri, membiarkan Emma mengaduh sambil sibuk memasukkan sisa koin ke dalam dompet. Mr. Taylor berbincang sebentar dengan kasir dan membawa sekantong besar kue C'est L'amour.
Emma memberikan kartu debitnya, pembayaran selesai, dan ia meresleting kembali dompetnya setelah memasukkan kartu. Tepat saat itu, Mr. Taylor diam-diam memasukkan lembaran uang cash—yang sudah diberikan kasir— dengan jumlah harga kue yang sama ke kantong. Dia tidak mau Emma membayar sepeser pun.
"Sini aku bawain," kata Emma mendongak, tidak sadar dengan hal itu.
Mr. Taylor langsung mengangkat tas itu tinggi-tinggi ke sampingnya. "Diam," ujarnya tegas.
Emma mendengus kesal. "Dasar jutek." Ia berjalan lebih cepat dan kakinya langsung tersandung satu tangga pendek yang seharusnya memang tidak ada di sana. "Aduh!"
"Rasain. Itulah kenapa harus sopan dengan yang lebih tua!" Mr. Taylor mencibir Emma puas, sedangkan gadis itu berjongkok dan mengusap-usap jempol kakinya yang berdenyut-denyut linu.
Ketika mereka sampai di mobil yang disopiri oleh Logan dan berangkat, Emma meraih tisu dan menunduk ke bawah jok sambil meringis kesakitan.
Mr. Taylor menyimpan kantong kue di kursi belakang dan memandang Emma. "Kakinya masih sakit?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...