"Dia juga menyukai foto-foto lamaku. Terutama postingan tentang kegiatanku saat menjadi duta di kampus." Zoe menaruh ponselnya di atas mejanya. Aku memandang layar yang menampilkan daftar notifikasi akun Instagram miliknya.
"Dia hanya menyukai 3 foto, Zoe," ujarku memberitahunya.
Zoe menggeleng, ia duduk agak tegang di kursi kerjanya. "Itu postingan beberapa tahun yang lalu, kau tahu?"
Aku menghela nafas dan memandangnya. "Jadi apa masalahnya? Seseorang bisa melakukan apapun di sosial media. Mungkin dia senang melihat pencapaianmu—seperti memberi apresiasi."
Zoe mengerutkan dahinya, tidak senang dengan ucapanku. "Bukan itu masalahnya...." Suara penekanannya terdengar menyebalkan. Dia menyambar ponsel itu dengan kesal. "Kenapa dia bisa sampai mengikutiku? Men-stalking akunku? Urusannya apa denganku?"
Aku menggelengkan kepala lalu mengusap-usap dahi. "Kau masih mempermasalahkan ini, Zoe? Dia hanya murid."
"She is only student," Zoe mengulang ucapanku, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, matanya mendelik. "And let me tell you SHE'S the only student you have who follow me. Sus—mencurigakan!"
"Sus?" Aku tersenyum miring. Aku menyesal datang ke sini, menghabiskan waktu 1 jam perjalanan untuk ke kantor Zoe. Total menjadi 2 jam untuk menyetir ke lokasi lain, mengerjakan urusan yang lebih penting. Padahal aku juga bisa mengerjakan pesanan dan selesai dalam waktu yang sama. "Aku pulang dulu, Zoe."
Zoe menganga. "Taylor!" Dia berdiri dengan cepat. "Kita belum selesai!"
"Aku kira kamu mau membicarakan hal lain selain yang satu ini." Aku memakai jasku kembali, karena sekarang waktunya berkunjung ke rumah Mr. William, maksudku Profesor William. "Emma tidak penting."
"Itu penting untukku," tunjuk Zoe pada dirinya sendiri. Aku menatap wajahnya, dia benar-benar serius dengan Emma. "Aku tahu dia hanya anak kecil, Taylor. Tapi kenapa dia seakan istimewa di hatimu? Bahkan kita belum membahas kenapa dia memposting foto denganmu di sorotan memories-nya?"
"Itu waktu kami pergi lomba. Aku pembinanya. Kau lihat sendiri Emma memenangkan lomba itu. Wajar dia gembira dan menjadikannya kenangan yang baik." Aku menjelaskan, agak memotong.
Zoe mendengus. "Aku penasaran sebenarnya hubungan kalian itu seperti apa, sih? Sampai namanya ada ketika kamu ngigau!"
Aku menggelengkan kepala lagi, sudah lelah dengan percakapan ini. "What's the matter, Zoe?"
Zoe terlihat sungguh jengkel sekarang. Ia membuang muka ketika aku mengambil brosur vendor yang diberikannya. "Nanti saja lanjutkan di telepon. Kalau bisa tidak usah membahasnya lagi. Kita sudah dewasa, Zoe. Lupakan soal itu." Kataku dengan tegas, jari telunjukku menempel di mejanya.
Zoe cemberut. "Ini tidak mudah, Taylor. Aku calon istrimu—"
"Lalu?" potongku lagi, mengambil kunci mobil.
"DENGARKAN AKU!" bentaknya. Aku memandangnya dengan kaget.
Ini kedua kalinya ia berani membentakku.
Aku memandang keluar jendela sejenak, masih begitu terik. Kemudian kutarik kursi dan kembali duduk. "Silahkan," kataku.
Nafas Zoe sekarang naik turun. Aku bisa mendengar gemuruhnya.
Zoe masih berdiri seperti patung. Alhasil, aku menarik kedua tangannya dan menyuruhnya untuk duduk. "Duduk, sayang. Duduk," kataku dengan lembut.
Zoe dengan enggan merebahkan tubuhnya lagi, tapi kepalanya mengarah ke sisi lain. Dia tidak mau menatap wajahku. "Aku perempuan, Taylor. Aku butuh kepastian siapa Emma sebetulnya bagimu. Instingku mengatakan ada sesuatu di antara kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
Storie d'amoreWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...