The Unpredictable Proof

42 6 4
                                    

NOTE :
Please read The "Si Mignon" first—on the next slide part—before read this chapter (cuz it's swapped) thanks ✨

































































Effingham Road terasa sedikit lebih ramai daripada biasanya. Mungkin karena ini hari Sabtu, orang-orang yang sudah bisa libur memilih untuk menghabiskan uang mereka di pusat kota. Di luar jendela, toko-toko berjajar hampir tidak ada jarak. Penanda itu semua adalah tempat yang menyediakan barang yang berbeda-beda hanya melalui tulisan nama toko di jendela dan papan gantung di atas pintu. Aku baru saja sadar kalau kotaku ini memang lumayan aesthetic, mengingatkanku pada London—hanya saja daerah ini lebih kecil sedikit.

Logan sopirku, menawarkan untuk menunggu, tapi aku dan Alex langsung menolak. "Kami akan agak lama di sana," ucap Alex sambil menggerling ke arahku.

"Oke siap," ujar Logan dan menekan pedal gas lebih kencang lagi. Mobil meluncur sampai melewati jajaran toko-toko barang hingga sampailah kami ke blok selanjutnya, yakni kumpulan toko-toko makanan. Aku menekan jendela hingga terbuka, banyak orang mengantri di setiap toko yang berbeda. Aroma bagel yang baru disimpan di etalase langsung menyentuh hidungku.

C'est La Vie muncul setelah mobil berbelok ke kanan. Tulisan namanya besar dan berwarna emas, jika malam pasti lampunya akan menyala. Di depan toko ada beberapa kursi berpayung yang sudah terisi dengan hidangan roti di atas piring mereka.

Mobil berhenti, pintu geser otomatis terbuka, lalu aku turun lebih dulu kemudian disusul Alex. Beberapa orang, maksudku kelima orang yang duduk di area depan resto menoleh pada kami. Aku merapatkan jaketku dan melangkah masuk. Dua orang pemuda—lebih muda sedikit dari Mr. Taylor—saling berbisik sambil melirikku. Spontan aku menggandeng tangan Alex, dan seperti biasa akting kami dimulai.

"Mau pesan apa, sayang?" tanya Alex dengan cara bicara yang dipanjang-panjangkan.

"Nanti kita lihat ya." Meski geli, aku tetap harus berbicara seakan pacar Alex. Dari ekor mataku, dua pemuda tadi memegang dada mereka, seperti baru ditusuk sesuatu. Sekilas aku bersyukur karena keberuntungan ini— tidak mirip secara fisik dengan kembaranku—membawa hal baik.

Sampai di dalam resto, kursi-kursi juga lebih penuh dari biasanya. Orang-orang datang untuk sarapan atau nongkrong bersama temannya. Aku dan Alex masih bergandengan tangan bak pasangan muda selagi berjalan ke etalase. Mata-mata tertuju pada kami.

Setelah sampai untuk memilih menu, aku langsung menangkap sosok Mr. Taylor yang berdiri tak jauh dari sana, lebih tepatnya di sekitar mesin minuman dan sedang mengobrol dengan salah satu staff laki-laki berbadan gemuk yang memakai celemek. Lelaki itu buru-buru menghampiri kami dengan rusuh. Mr. Taylor dan aku saling pandang sejenak, sebelah tangannya memegang cangkir kertas. Ia tersenyum dengan diawali bibir yang berkedut-kedut ragu padaku. Aku berkedip dan tersenyum tipis padanya lalu kembali fokus kepada staff tersebut.

"Kalian murid Effingham High?" tanya staff tersebut, dari papan namanya ia adalah Dave.

"Betul," kataku.

"Wah, keren. Maksudku murid-murid di sana pada keren. Kedai pastry dadakan kami langsung ludes. Kalian keren," kata Dave bersemangat.

"Siapa juga yang mau melewatkan jam perut lapar dengan munculnya kedai enak baru—diskon lagi?" Alex menyahut, masih membaca menu.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang