Taylor keluar dari kamar ibunya dengan dada yang bergemuruh penuh amarah. Paulina, yang sedang sibuk sarapan makan sandwich sambil menonton boyband Korea favoritnya berjengit kaget.
"Taylor!" Mum keluar dari kamar, menyusul anak bungsunya yang kini mengambil tas kerja dari sofa ruang TV.
Taylor tidak menggubris. Ia sekarang melangkah ke meja makan. Bukan untuk mengambil roti, tapi meraih kunci mobil tanpa memandang kakak perempuannya.
"TAYLOR LISTEN TO ME!" Setelah tiga tahun berlalu, mum membentak Taylor—sang anak emas kesayangan—ntuk pertama kalinya. Paulina menaruh sandwich dengan perasaan tak enak, lalu menghentikan bunyi musik di ponselnya. Ia tidak mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.
Taylor akhirnya menghentikan langkah dan berdiri tepat di depan pintu belakang. "Apa lagi, mum?" tanya Taylor datar, tanpa menoleh pada wanita yang sudah melahirkannya itu.
"LOOK AT ME!" Mum berteriak lagi. Suaranya sampai serak. Wajahnya memerah menahan amarah. Paulina buru-buru menyingkir dari meja makan dan menghampiri ibunya.
"Ada apa mum?" tanya Paulina sambil berbisik. Mum menggenggam tangan anak perempuannya. Setelah jarak mereka dekat, Paulina bisa mendengar nafas ibunya bergemuruh riuh seperti badai salju di tengah musim panas yang cerah ini.
"Mum mau bilang apa?" Taylor menoleh pada ibu dan kakaknya sekaligus. Nadanya begitu ketus. Bukan nada bicara Taylor yang biasa ia gunakan untuk berdialog dengan orang tuanya. Suara itu penuh penekanan dan jengkel luar biasa. Mum menggeleng. Tetes air mata keluar dengan lancar dari matanya yang sedih.
"Pergi kamu," pinta Mum, membuang muka. Paulina memegang bahunya, mengusap-usap.
"Jika mum tidak memanggilku seperti tadi aku juga sudah pergi dari sini!" balas Taylor dengan kejam. Paulina melebarkan mata.
"TAYLOR! BISA-BISANYA KAU BERKATA BEGITU!" Paulina mulai bersuara. Ia tidak menyangka Taylor, adiknya yang penuh kasih sayang bisa mengatakan kalimat sekeji itu.
Taylor pura-pura tidak mendengarkan kakaknya. Ia membuka pintu dan menutupnya kembali dengan agak keras. Sempurna sudah sikap buruk Taylor pagi ini pada ibunya. Ia sudah menghancurkan hati wanita yang anugerahnya paling manjur bagi kelancaran hidupnya.
Nichole memeluk Paulina dengan erat. Bahunya terguncang hebat. Dadanya sakit sekali, seperti ditusuk pisau tak terlihat. "Mum..." panggil Paulina, ia ingin sekali tahu apa yang baru saja terjadi.
Nichole menjauhkan diri dan mencari tempat duduk. Akhirnya, mereka berdua duduk di atas sofa ruang TV. Untuk beberapa saat mum tampaknya masih memvalidasi perasaannya. Hingga dua menit kemudian barulah mum mendongakkan kepala, menahan agar tidak ada tangis yang keluar lagi. "I should not cry like this. Taylor bisa terkena dampak buruk."
"Yeah, sepertinya tadi anak itu tidak sadar hukum keramat tangisan seorang ibu." Paulina berkata sambil mendelik. "Dia menyebalkan akhir-akhir ini pada mum? Kukira padaku saja."
Mum menoleh. "Dia bilang apa padamu?" tanyanya sambil mengusap air matanya untuk terakhir kalinya.
Paulina mengangkat bahu. Ia meluruskan kaki di atas karpet yang lembut. "Menyebalkan saja. Meminta dua roti, dua minuman, kadang meminta tambahan merchandise C'est La Vie," ujar Paulina. "Boleh saja kalau gratis. Tapi dia sempat menolak dan menaruh uangnya di atas mesin kasir. Seperti dilempar, mum. Kau tahu 'kan aku sangat sensitif jika ada seseorang yang sedekah tapi dengan cara yang buruk? Bukan itu saja sebenarnya. Ah, malas menceritakannya juga."
Nichole menghela nafas. Masih ada sisa tangis tertahan di dalam suaranya. "Aku tidak tahu kenapa dia bisa berani membentakku. Selama kamu memutuskan untuk lembur di resto, aku selalu bertemu dengan Taylor. Dia berwajah masam setiap saat. Menghindari makan malam, sering diam di kamar. Saat aku tanya kenapa tidak melukis di studio—karena itu yang ia lakukan setiap saat—ia malah menjawab terserah aku dan di lain kasus, bukan urusan mum. Oh, baiklah. Anakku sudah besar ternyata. Lalu dia berdecak, tersinggung, dan menutup pintu tepat di depan wajahku." Mum menunjuk wajahnya sendiri, seakan menegaskan kepada Paulina bahwa Taylor benar-benar melakukannya tanpa kelembutan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...