Forbidden Love

14 6 0
                                    

POV. MR. TAYLOR.

Berita penyerangan penembakan di Effingham sudah muncul di setiap saluran berita televisi. Bahkan di sosial media juga sama viralnya, seperti sebuah fenomena badai petir yang hanya menyerang sekolah kami. Ini memang mengejutkan. Situasi yang damai berubah mencekam saat tembakan pertama terdengar dari arah bangunan kosong—bekas lab kimia yang tahun lalu sempat meledak dan masih proses renovasi. Para guru yang sedang berbincang dengan teh dingin di tangan masing-masing, mulai mengetahui apa yang baru saja terjadi dan buru-buru mematikan televisi yang menggantung di atas dinding dan menggantinya dengan gambar CCTV. Setiap wali kelas dengan segera mengirimkan pesan kepada murid-muridnya yang masih di sekolah agar cepat-cepat mencari tempat yang aman.

"Kita sudah latihan soal ini. Sudah saatnya kalian mempraktekannya."

"Ini bukan prank?!"

"Bukan, boy."

Sementara kepala sekolah keluar dari ruangannya dan tangannya sudah menelopon polisi. Dua tiga guru laki-laki lain keluar ruang guru dengan sangat hati-hati untuk memeriksa setiap ruang kelas, ditakutkan ada siswa yang tertidur dan tidak tahu sedang ada apa. Sementara aku? Teringat Emma. Aku sempat hendak keluar ruangan namun Ms. March menahanku, sebab di CCTV seorang penembak sedang berjalan ke arah kami. Pintu ruang guru sudah ditutup rapat, dikunci dan dihalangi oleh lemari brankas besar yang diangkut oleh Mr. Davis dan Mr. Frederick.

"Teachers, ingatkan para siswa untuk mematikan suara notifikasi ponsel mereka. Kita berkomunikasi di sana," perintah Principal Grazer dengan wajah pucat, seputih salju. Sebab di luar sana, tembakan terus menerus terdengar. Bahkan ada satu waktu ketika kami sibuk mengunci jendela-jendela juga, ada satu suara tembakan brutal dari peluru yang—kami harap—bukan menembaki nyawa seseorang. Ms. Ronan sampai memeluk suaminya dengan gemetaran.

Mr. Taylor
DIMANA KAMU?!!!

Aku mengirim Emma pesan yang langsung menampakkan ceklis dua berwarna abu. Aktif.

Aku menekan-nekan remote, mengganti-ganti ruangan demi ruangan yang terpantau CCTV. Guru lain melihatku sedang memeriksa kondisi murid, namun sebenarnya aku juga mencari Emma. Dan disitulah dia. Tidur di perpustakaan.

"Emma!" seru Ms. March sambil menutup mulut.

Aku mulai membuka ponsel, meneloponnya terus menerus. Bisa kulihat dari ujung ruang baca di CCTV itu,  ponselnya menyala tapi ia tak kunjung bangun. Kami semua greget dan Ms. March menghubungi tiga guru yang keluar tadi untuk menghampiri perpustakaan. Namun, mereka menjawab lewat Teacher's Room Group Chat...

Mr. Steve
Tidak bisa, Miss. Di luar ruang komputer penembak itu sedang mencari orang.

"Kenapa Emma tak kunjung bangun?" Suara Ms. Lili kecil sekali, seperti sedang menerka sesuatu terburuk—Emma pingsan atau... mati.

"Penjahat itu tidak masuk ke perpustakaan, 'kan? Belum?!" balas Ms. March dengan wajah takut.

Apa yang aku rasakan sekarang? Kedua kakiku gemetaran. Aku terus meneloponnya dengan gelisah sampai ubun-ubun.

Mr. Davis merebut remote dari tanganku dan menekan tombol agar menampakkan setiap kotak-kotak ruangan lagi.

"Ada seseorang yang masuk lewat pintu selatan." Mr. Davis membuatku mendongak dan tersadar ia sedang melirikku tajam sebab layar hanya mengarahkan pada Emma saja.

"Saya harus keluar," kataku tegas pada para guru, terutama meminta izin dari Principal Grazer.

"Jangan, Mr. Taylor," kata Ronan.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang