The Woman

22 4 4
                                    

POV. MR. TAYLOR.

Zoe berkunjung ke rumah baruku di daerah Woodlands Selatan, tidak jauh dari Effingham pusat. Aku sedang membaca koran berita pagi dengan niat hati setelah ini akan berjalan-jalan sejenak di sekitar komplek. Namun, wanita itu, lebih tepatnya calon istriku, mendadak datang dengan banyak kantong yang dibawa dalam dua genggaman tangan.

"Dalam rangka apa?" tanyaku ketika menontonnya mengeluarkan berboks-boks makanan, ternyata bukan hanya makanan manis saja, tapi juga ada buah-buahan, daging, sampai sayur.

"Kulkasmu masih kosong, Taylorku," ujarnya sambil memutar bola mata dan membuka kulkasku yang baru terisi susu dan makanan cepat saji. "Aku harus mengisi kulkasmu dari sekarang."

Aku tahu apa maksudnya, dia dan aku lebih tepatnya akan terus berurusan dengan kulkas itu selama beberapa tahun ke depan. "Benar, kita akan memikirkan menu makanan kita berdua setiap waktu." Zoe tersenyum senang mendengar penuturanku. Aku mengambil sebuah apel hijau, yang langsung mengingatkanku pada Emma.

"Setelah ini selesai aku mau menonton film denganmu, ya." Aku mendongak setelah gigitan apel pertama. Aku ingin sekali mengatakan rencana jogging pagiku yang sudah tertunda selama beberapa minggu. Tubuhku jadi terasa lebih letih dan sebenarnya hari ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk membuat diri bugar kembali.

"Boleh," jawabku pada akhirnya. Zoe berjalan mengitari meja makan untuk menghampiri dan mengecup pipiku. Kemudian, ia kembali ke depan kulkas dan sibuk menata makanan.

Aku memandangnya sambil berpikir. Selama ini aku tidak bisa menolak Zoe. Apapun keinginannya. Wanita itu terlalu berkuasa untuk dibantah. Entahlah, setelah dua bulan mengenalnya dan penentuan rencana pernikahan kami semakin dekat, ia terasa mendominasi. Akhir-akhir ini aku juga memikirkan bagaimana ia bersikap, berbicara, dan berperilaku kepada orang lain. Sejauh yang kulihat, sikapnya agak aneh. Dia amat pencemburu, dan aku masih menoleransi. Cara berbicaranya juga normal, bahkan tidak sentimen apalagi 'tinggi'. Dia wanita berkelas yang (mungkin) selama ini aku idam-idamkan. Hanya saja, aku agak tidak suka dengan caranya memperlakukan pelayan di setiap restoran yang pernah kami kunjungi untuk berkencan.

Aku berdiri dan menyingkir, tidak menghabiskan apelku.

"Taylor?" panggilnya.

"Ke kamar mandi," jawabku sambil terus berjalan menjauh menuju kamar mandi.

Di dalam, aku memandangi kamar mandi yang bernuansa abu tua, warna kesukaanku. Ada bathub berwarna putih dengan tirai abu muda. Di sebelahku ada cermin yang memantulkan diriku sendiri. Taylor yang dulu pernah masuk penjara itu balas memandang Taylor yang kini sudah merdeka secara finansial.

Aku masih tidak percaya ini kamar mandiku. Kamar mandi yang bukan dibuat dad, bukan juga yang peralatan mandinya dibereskan mum. Ini kamar mandiku. Juga rumah ini. Aku akhirnya membuat rumah untuk diriku sendiri? Aku seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

Dan...

Aku bertumpu pada kedua telapak tanganku, berdiri di depan pantulan cermin.

Aku memang sudah mengetahui nama Zoe Gonzalez sejak masih kuliah Bachelor. Dia cukup terkenal untuk menjadi ambassador pendidikan. Pernah berkunjung menjadi pembicara termuda di kampus ketika aku masih mengambil gelar master. Aku pernah memikirkan bisa mengencani wanita seambisius itu, tapi tidak pernah menyangka juga bahwa Zoe sendirilah yang memiliki cincin silver yang sama seperti yang kupakai di jari manisku sekarang.

Aku mengangkat tanganku, perutku sedikit bergejolak melihatnya. Aku mengetahui wanita itu sudah lama, mengenalnya hanya beberapa bulan terakhir karena relasi akademik, dan sekarang mulai mengorek kepribadiannya dengan dibarengi situasi pasca-tunangan. Untuk beberapa detik yang cukup singkat, rasanya aku ingin melepas cincin itu dan membuangnya ke air flush, seakan Zoe juga akan lenyap disedot gelombang.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang