The Tears in That Man's Eyes

31 7 4
                                    

Ini akan menyenangkan lagi...

Emma mengusap-usap kedua telapak tangannya yang lumayan berkeringat dingin. Ia sudah stand by di depan laptop yang masih menunggu Mr. Taylor untuk datang di room. Dia sudah menghafal banyak materi dan siap mendengarkan penjelasan sang guru. Meski hari ini libur nasional, namun Emma masih harus mengikuti kelas online. Tidak apa-apa, selagi kelas seni aku tidak keberatan.

Lima menit kemudian, Mr. Taylor muncul. Foto profilnya, alat lukis dan kanvas membuat Emma menahan nafas. Entah kenapa ia jadi jauh lebih gelisah, seakan baru saja terbangun dari tidurnya bahwa selama ini mereka memang melakukan video call berdua saja secara lebih intim. Dan pada malam ini Emma penasaran dengan sikap Mr. Taylor padanya. Sebab di pertemuan-pertemuan yang lalu, ia tidak memerhatikan apakah guru itu antusias dengan obrolan itu, atau ngantuk, atau memang menunjukkan detail-detail perhatian yang ia lewatkan.

Mr. Taylor muncul. Ia masih menunduk ke arah kanan, seperti mengetik sesuatu di ponsel. Emma belum menyalakan kameranya, ia masih ingin memerhatikan lelaki itu. Baju yang ia pakai adalah kemeja kotak-kotak biru yang dijadikan luaran, rambutnya kusut, ia duduk di ruang tengah, dan ada gitar yang digantung di dinding. Emma tidak pernah tahu Mr. Taylor bermain instrumen.

Mr. Taylor mendongak. Kedua kelopak matanya bengkak. Tatapannya jauh lebih sayu.

Apakah Mr. Taylor mengantuk malam ini? Tidak. Dia baru saja menangis.

"Bisa buka kameranya, Ms. Anderson?" pinta Mr. Taylor, mengamati layar. Emma menarik nafas dan menyalakan kamera. Wajahnya terpampang dengan indah di layar milik gurunya. Mr. Taylor tersenyum, tapi tidak menyipitkan matanya.  "Apa kabar hari ini? Bagaimana pengobatannya?"

Emma masih terlalu fokus dengan kedua mata Mr. Taylor, bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya menangis. "Masih berjalan dengan normal, yeah everything alright, Sir." Emma merasa sedang membohongi orang lain, sebab pengobatannya semakin memburuk.

"Bagus. Saya senang dengarnya. Baik, malam ini kita akan membahas tentang apresiasi karya seni bagian dua. " kata Mr. Taylor, mulai mengaktifkan sinyal profesionalnya. "Apa yang kamu tahu soal itu?"

Emma siap dengan hal itu, jadi ia berceloteh agak panjang lebar, mengungkapkan semua yang sudah ia baca sebelum zoom meeting dimulai.

"Oke." Mr. Taylor mengangguk. Emma mengharapkan tanggapan baik, tapi Mr. Taylor sekarang sedang menyusuri sesuatu di atas silabusnya dan berkata, "Ada yang lebih baik dari ide milik tokoh yang kamu sebutkan."

Senyum Emma agak mengendur meski tidak terlalu terlihat jelas, sebab Mr. Taylor sekarang hanya fokus dengan tujuannya menyampaikan materi. Tidak terlihat seadanya, malah Emma mengapresiasi bagaimana Mr. Taylor masih bisa menyusun kata-kata dengan baik, tanpa jeda, tanpa bloopers, padahal Emma tahu Mr. Taylor sedang tidak enak hati.

Mr. Taylor terus menerangkan, tapi pikiran Emma sudah melayang kemana-mana. Ia jadi membayangkan Albert.

Lelaki seusia 26 tahun... apa yang membuat mata mereka menunjukkan kesedihan seperti itu? Apakah Albert pernah menangis? Karena apa?

Norah.
Patah hati.
Gagal dalam hubungan percintaan.

Apakah Mr. Taylor juga sedang dihadapkan masalah yang sama?

"Jelas, Emma?" tanya Mr. Taylor. Emma mengangguk. "Jelas apa coba?"

Emma dengan terbata-bata tapi mampu, menjawab apa yang ia bisa simpulkan. Jika dia sampai tidak bisa menjelaskan ulang, Mr. Taylor akan semakin buruk hatinya.

"Mungkin segitu saja kelas malam ini. Saya kira kamu perlu rehat lebih banyak ya."

Apa? 30 menit saja? Bahkan ini baru berjalan kurang dari itu!

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang