"You're what you think," gumam Alex, ia membaca sebuah kutipan berpigura di lorong lantai dua. "Aku jarang memerhatikan koridor di sini. Hanya bulak-balik ngambil jangkar ke ruang sains."
Emma diam. Dia tidak mencerna sepenuhnya apa yang Alex katakan. Kepalanya terus fokus dengan apa yang akan ditanyakan Mr. Taylor nanti. Ia sekarang agak takut menghadapi guru yang satu itu, tidak sesantai dulu.
Tulisan Head of the Art Department tertempel pada papan kayu tebal di pintu berwarna hitam. Membacanya, Emma langsung menelan ludah. Ia belum pernah masuk ke ruangan itu dan belum pernah berduaan dengan Mr. Taylor di ruangan yang sama. Ia menyingkap rambut yang menghalangi dahinya. "Tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana."
"Oki doki," kata Alex dan mencari bangku. "Nah, aku diam di sana, ya!" tunjuknya pada satu bangku panjang di dekat ruang rapat. Emma mengangguk. "Kalau ada apa-apa bilang aku. Tapi aku percaya Mr. Taylor gak kayak Mr. Davis. Dia gak akan macam-macam," bisik Alex, nyaris tidak terdengar. Emma mengangguk lagi dan membuka pintu ruangan.
Ia mengintip sedikit ke dalam ruangan. Ada sofa berwarna biru tua kosong dengan meja di tengahnya. Ruangan itu lebih mirip dengan ruang kepala sekolah dibandingkan ruang kepala departemen.
"Masuk, Ms. Anderson." Mendengar suara Mr. Taylor, entah kenapa tengkuk Emma merinding. Ia menoleh ke kiri, Mr. Taylor baru bergerak di atas bangku rodanya, meluncur dari rak buku ke mejanya lagi.
Emma menutup pintu di belakangnya dan menghampiri sang guru. Emma tersenyum, ia kira Mr. Taylor tidak akan membalasnya. Namun ternyata, ia memberikan senyum terbaiknya juga.
Setelah sekian lama.
"Sore, Mr. Taylor."
Mr. Taylor tersenyum manis. Bagian depan rambut bergelombangnya agak kusut. Emma baru sadar, jika sore pomade di rambut Mr. Taylor memang selalu ikut lelah. "Bagaimana kabarmu, Emma? Terutama liburanmu," tanyanya.
Berada di dalam ruangan itu membuat Emma merasa sedang diinterogasi oleh seorang firma hukum. "Liburan kemarin menyenangkan sekali," jawab Emma ceria. "Aku dan keluargaku akhirnya ke Belarus, bertemu sepupu dan bermain di sana."
Mr. Taylor mengangguk antusias. Pupil matanya membesar ketika menyadari ia bisa mendengar suara Emma yang selalu penuh semangat dan energik—dan itu membuat lelahnya seharian, lagi-lagi, otomatis hilang. "Senang mendengarnya," sahut Mr. Taylor dan menarik keluar laci mejanya.
"Bagaimana denganmu, Mr. Taylor?"
Mr. Taylor tampak berpikir sebelum menjawab, sambil mencari-cari sesuatu di antara tumpukan kertas. "Menyenangkan juga, lumayan ya," katanya seraya mengingat bahwa akhir liburan semester kemarin ditutup oleh pertengkaran dengan Zoe. "Sedang persiapan menikah." Entah kenapa, entah bagaimana, entah karena apa—Mr. Taylor tiba-tiba saja mengungkit soal itu kepada Emma. Ketika kertas ketemu dan sudah ada di genggamannya, ia terkesiap sendiri dengan apa yang baru saja diutarakannya.
Emma melirik cincin silver di jari manis tangan kanan Mr. Taylor, lalu berkedip pelan. "Dengan Ms. Zoe?" terka Emma.
"Yeah." Suara Mr. Taylor melemah. Lelaki itu membungkuk ke laci besar, menghilang dari pandangan, hanya lekukan punggung berjasnya saja yang terlihat. Ia mencari pulpen, padahal jelas-jelas ada satu gelas penuh pulpen di atas mejanya. Ia hanya ingin menyadarkan dirinya bahwa ia benar-benar mengatakan itu pada Emma.
Di kursinya, Emma melirik gelas penuh pulpen di dekatnya. Jelas sadar betul Mr. Taylor baru saja menyesali perkataan itu. "Aku ikut senang," kata Emma, berusaha untuk mempertahankan tingkat keceriaan dalam suaranya. Tapi jujur saja, ada perasaan tidak enak setelah mendengar berita baik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomansaWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...