20:18 Kamis Malam
Aku mengusap wajah. Emma tak kunjung masuk ke room zoom meeting padahal kami sudah janjian sejak tadi siang. Aku memainkan jemari, entah kenapa gelisah sekali. Aku cukup degdegan karena sudah lama tidak melihat wajah yang membuat tidurku tidak nyenyak itu. Aku sudah siap membuka ponsel untuk mengiriminya pesan, tapi bunyi beep di laptop membuatku urung mengingatkannya.
Emma datang. Aku memejamkan mata dan membatin. Be profesional, Taylor. Aku membuka kamera, Emma juga membukanya. Kemudian aku langsung menyesal. Seharusnya aku membiarkan Emma membuka kameranya terlebih dahulu, tidak berbarengan seperti ini. Jadi, detik ini aku malah terkesiap dan Emma tersenyum tipis.
"Kaget, ya Sir?" terkanya, berusaha sesantai mungkin.
Aku mengerjapkan mata, berdeham sebab tak siap menyaksikan pemandangan di layarku. "Emma susah nafas?"
Dengan selang oksigen yang bertengger di bawah hidungnya, Emma tidak menggeleng, tak juga mengangguk. "Lumayan, Sir."
Lumayan? Dia selalu menutupi kesakitannya!
"Kuat buat belajar?" Aku bisa merasakan nada suaraku melembut. Keprofesionalanku sebagai gurunya lenyap begitu saja, entah kemana.
Emma mengangguk. "Kuat, kuat! Ayo, materi apa sekarang?" Ajaknya, membuatku semakin sedih.
Namun akulah yang tidak kuat melihatnya seperti itu. Bukan hanya selang oksigen yang menusuk hidungnya, tapi juga selang nasogastrik. Dan aku yakin masih ada selang-selang lain yang menempel di tubuhnya—di dadanya dan di tangannya. Kalau begini caranya, aku tidak akan sanggup melihat penderitaannya secara langsung.
"Mr. Taylor?" Suara lembut itu memanggilku. "Apa aku tutup saja kameranya, Sir?"
Aku mendongak, baru sadar sedari tadi menunduk menatap pahaku sendiri dan merasa prihatin. Aku menelan ludah dan buru-buru berkata, "Jangan. Biar gini saja, Nak."
Aku mulai menjelaskan pelajaran, tapi lidah ini malah kembali menyampaikan materi minggu lalu. Aku juga tidak tahu kenapa, tapi rasanya mulutku meracau tidak jelas. Belum selesai penjelasanku, Emma mengirimkan tanda raise hand di zoom.
"Ya, Ms. Anderson?" jedaku, takut fisiknya melemah.
"Aku izin mengambil air minum, ya, Sir?" izinnya. Aku mengangguk dan melihatnya menggeser meja yang sengaja ditaruh di pinggir kasurnya. Ia memakai cardigan, tapi tidak berhasil menutupi selang-selang lain di balik bajunya. Betul, 'kan, feeling-ku. Masih ada banyak selang di sana.
Ia menunduk ke arah kamera, seakan bisa membaca pikiranku dan berkata, "Off kameranya sebentar boleh?"
"Tidak," jawabku.
Emma mengangguk. "Baik." Ia pun menyingkir dan terlihat kasur berseprai cokelatnya yang semakin penuh dengan Teddy Bear. Dan setengah tubuh Robert terlihat duduk di sana. Persis menghadap kamera. Memakai jas putih, mengangguk ke arahku sambil memeluk tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...