Kelas online dimulai. Ternyata tidak seburuk yang Emma kira. Suasana di rumah sudah lebih adem ayem selama beberapa bulan terakhir. Teman-teman di sekolah digantikan oleh kehangatan kakak-kakaknya yang selalu menemaninya dan menunjukkan wajah, mengecek Emma dengan rutin, dan mengajak Emma mengobrol di waktu senggang. Albert, Robert, Daniel, tidak pernah membiarkan Emma sendirian sebisa mereka, juga Fransesca yang sengaja mendaftarkan diri sebagai dokter gigi di rumah sakit Effingham, dan sementara meninggalkan kliniknya di London. Jadi, ia selalu ada di rumah dan ikut mendengarkan penjelasan para guru sambil ngemil makanan asin.
"Gara-gara aku kamu jadi harus LDR-an," kata Emma ketika kelas sastra Inggris selesai pada hari Kamis malam.
"Ah, tenang aja. Bentar lagi juga nikah hehe." Fransesca berkata dengan semangat, ia sedang terbaring di atas karpet ruang tengah.
"Percepat please," kata Emma.
"Apa?"
"Pernikahanmu dan Stefan." Stefan adalah seorang dokter bedah profesional dari London, Fransesca sudah mengenalnya sejak masa-masa koas. Stefan adalah dokter yang membantu Fransesca beradaptasi di rumah sakit.
"Emma mau aku nikah kapan, sayang?" tanya Fransesca, duduk.
"BULAN DEPAN!" seru Emma.
"Oh, ya ampun."
"Bisa 'kan?"
Fransesca tersenyum. Dia adalah dokter paling angelic yang pernah Emma temui. "Boleh, sayang."
"Aku pokoknya ingin ikut fitting baju pengantinmu. Tidak mau tahu." Emma yakin Fransesca tidak akan pernah menolak permintaannya setelah vonis, jadi ia agak memanfaatkannya setetes.
"Bisa diatur." Fransesca lagi tersenyum begitu tulusnya sampai Emma merasa ia tidak perlu meninggalkan dunia secepat itu dan menyaksikan Fransesca tumbuh bahagia bersama suaminya. Jika Emma memang ditakdirkan belum bisa punya anak, toh ia bisa meminta Fransesca untuk hamil lagi dan lagi dan membiarkan Emma membesarkan salah satu anaknya.
"Art class will start in five minutes. Prepare yourself." Sebuah alarm yang sengaja Emma setel berbunyi dari laptopnya secara otomatis. Emma buru-buru merapihkan rambutnya, membuka ponsel dan kamera depan untuk memeriksa wajahnya, dan touch up lip balm pink naturalnya.
"Mau ketemu siapa, sih, sampai gitu banget?" goda Fransesca membuat Emma melebarkan mata.
"Apaan, sih, biasa aja," sanggah Emma.
"Kalau biasa aja gak akan mungkin sampai kayak git—"
"Ck, udah ah aku mau di kamar aja." Emma memotong dan meraih buku-buku dan laptopnya, menahan sipu. Jika direspon terus, Fransesca tidak akan henti-hentinya menggodanya.
Fransesca terperangah tak percaya. "Kenapa harus di kamar? Udah di sini aja, aku mau denger gimana Mr. Taylormu itu ngajar."
"Mr. Taylorku-Mr. Taylorku apaan," Emma membalas. Ia sudah berdiri dan memandang kakak perempuannya yang nyengir-nyengir usil. "Beliau lagi break sama calon istrinya."
"Kesempatan dong?" Fransesca menahan tawa.
"Enak aja!" seru Emma. "Gak mungkin aku jadi pelakor."
"Najis banget!" Fransesca terbahak. "Tapi kalau jodoh gak akan kemana, Emma."
"Bodo ah." Emma sudah lelah dengan perdebatan itu, jadi karena takut Mr. Taylor masuk zoom dan ia masih membahas soal itu, Emma pun masuk ke dalam kamarnya. Fransesca tergelak di tempatnya dan merasakan Emma memang kagum dengan guru yang satu itu.
Di kamar, Emma duduk di atas kasurnya dan menyimpan laptop di atas dua tumpukan bantal. Ia lebih nyaman belajar di atas kasur empuk seperti itu, sebab selama sejam penuh tadi pantatnya sudah menahan kerasnya karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]
RomanceWAKE ME UP WHEN I SLEEP 4. The Anderson family-more specifically their children-are known as siblings who are busy with their respective works. Even though they lived in the same large semi-palace house for many years, their warmth was indeed very s...