Alvin selalu memaksakan diri. Datang ke kantor paling pagi demi dapat memilih motor matic. Alih-alih memilih motor besar, Alvin justru hanya bisa mengendarai motor matic satu-satunya dikantor. Ia tidak begitu pandai mengendarai kendaraan beroda dua, mulai dari keseimbangan hingga memindah gigi motor saja Alvin kepayahan. Berbekal ilmu nekat, Alvin diterima begitu saja, walaupun bocah berwajah imut itu bahkan belum memiliki SIM dan KTP berhubung umurnya yang memang belum legal dan tidak ada biaya.
Alvin lapar tentu saja, sudah hampir siang dan pagi tadi bahkan belum sempat minum air segelaspun. Sejenak dirinya melamun di pemberhentian lampu merah, membayangkan nasi padang berlauk daging rendang kesukaannya. Sukses membuat perut kecilnya keroncongan minta di isi. Menghela napas sebelum akhirnya melajukan kembali motornya saat lampu lalu lintas berubah hijau.
Berniat untuk mampir di rumah makan padang serba 10.000 di gang perumahan. Namun sesaat Alvin merasa dunianya seperti mimpi, di tikungan jalan yang berada tepat didepannya, sebuah mobil menyebrang begitu saja. Alvin yang tidak siap mengerem langsung terkena hantaman mobil begitu keras. Tubuh Alvin terpental menubruk bagian atap mobil. Hingga tubuhnya berguling di aspal dan cairan merah darah menyebar di sekeliling tempat kejadian. Alvin sempat merintih sebelum kesadarannya menipis dan berakhir tidak sadarkan diri.
🄰🄻🅅🄸🄽
Terekam jelas diingatannya, begitu singkat hingga membuat jantung devran memompa cepat saat melihat pengendara motor melayang diatas mobilnya.
Kini devran begitu cemas menunggu dokter yang menangani korban tabrak tadi. Devran takut jika pemuda yang ia tabrak ternyata luka parah atau bahkan tidak selamat, devran tidak mau dicap sebagai pembunuh walau ini juga bukan sepenuhnya kesalahannya. Kedua tangannya menyatu sambil merapal doa keselamatan.HP di saku jaketnya terus bergetar sejak di rumah sakit. Tapi devran baru sempat mengangkat telepon dari kakak sulungnya.
Dengan tangan gemetar devran menggeser tombol angkat dan mendekatkan hpnya ke telinga."Halo vran? Dimana?"
Kakak sulungnya, Steven bertanya dengan nada cemas. Itu karena devran tidak kunjung datang ke acara pernikahan sepupunya setelah satu jam berlalu."K-kak? Bisa ke rumah sakit sekarang?"
Devran memberanikan diri meminta tolong."Rumah sakit? Ada apa? Lo kecelakaan? Ada yang sakit?"
Nada kakaknya bertambah panik. Membuat devran semakin kalut untuk menjawab."Kak, aku. Tadi aku menabrak motor kak. Cepat kesini, aku takut."
Cicitnya dengan suara sedikit bergetar."Okey, tunggu kakak ya. Ini mau nyusul. Lo ngga papa kan?"
"Hm, jangan bilang ayah ibu dulu ya kak."
"Okey."
"Rumah sakit Hermes lantai 8."
"Gimana bisa vran? Orang yang lo tabrak gimana?"
Steven tercengang melihat baju couple keluarga yang adiknya kenakan sudah penuh dengan bercak darah. Berniat menyuruh adiknya untuk bebersih namun Steven urungkan melihat adiknya yang nampak linglung dan ketakutan.Devran mendongak menatap steven yang baru saja datang, sendirian.
"Kondisinya kritis, aku takut kak."
Cicitnya dengan kedua mata yang berembun membuat Steven menghela napas melihat sang adik yang mendadak cengeng."Bilang ke ayah aja ya? Ayah ngga bakal marah deh, beneran."
"Ngga percaya."
Steven tidak membalas perkataan sang adik dan kini sudah berkirim pesan pada ayahnya untuk menyuruhnya menyusul ke rumah sakit. Lagipula Steven tidak bisa berbuat banyak, ia juga tidak tau harus berbuat apa selain menunggu korban tabrak adiknya itu sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVIN PARKER (END)
FanfictionFamily Brothership Alvin dan kesehariannya dengan keluarga Parker yang menganggapnya seperti bayi. "Cup cup cup. Udah ah nangisnya. Besok ayah beliin motor matic kalo adek nurut hm?" "Janji?" Tanya Alvin sembari mengelap air matanya menggunakan len...