"Anak bunda paling ganteng, mau ya ntar jemput adek di rumah sakit?"
"Sorry bun, dia bukan adekku."
Soobin menolak mentah-mentah dan kembali bermain game di hpnya. Lagipula kenapa tidak ayahnya saja yang menjemput."Suruh ayah la bun. Dia kan anaknya, ngapain nyuruh gue?"
Julia berkacak pinggang sebelum menepuk pantat anaknya yang sedang telungkup di atas kasur. Dengan gemas ikut duduk di samping kasur dan mengusak surai anaknya."Ayah lagi sibuk, bunda juga mau beberes kamar buat adek dulu." Ujarnya lembut mencoba membuat anaknya mengerti.
"Kamu kan anak bunda yang paling gede nih-"
"Iya, iya. Nih Steven nurut bu."
Steven beranjak dari kasur dengan hati dongkol, malas sekali.Walaupun melihat tidak ada ketulusan pada anaknya, tapi julia cukup senang karena Steven sudah menurut. Sebenarnya ini hanya rencana julia saja menyuruh Steven untuk menjemput Alvin, semata-mata agar Steven mulai mengenal adik tirinya.
Dengan setengah hati Steven memakai jaket, namun masih tetap memakai celana training dan kaos oblong robeknya. Lanjut merapikan rambutnya yang agak semrawut menggunakan jari-jari tangan.
"Ven, njemputnya pake mobil ah, jangan pake motor gede gitu. Takut adek ntar jatuh. Dingin juga kalo pake motor." Julia berpesan pada anaknya yang sudah memakai helm full face, sudah mirip seperti pembalap yang akan menuju turnamen.
Mendengar pesan ibunya membuat Steven lagi-lagi mendengus. Memilih menghiraukan pesan bundanya dan tetap kekeh membawa motor.
"Ngga bakal la bun. Dah Steven pergi dulu.""Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut!!"
Julia berteriak pada anaknya yang sudah pergi begitu saja.🄰🄻🅅🄸🄽
Alvin menghela napas beberapa kali sambil bersandar di atas bed brankar, tangan kanannya bergerak naik turun di atas selimut, rasanya kebas karena tangan kanannya tidak bisa bergerak leluasa, takut jika jarum infusnya bergeser dan menusuk kulit tangan.
Alvin bosan tentu saja. Hanya berbaring sambil menerawang ke arah atap polos rumah sakit. Berpikir beberapa kali hingga akhirnya memutuskan untuk mengambil remote televisi di atas sofa.
Beranjak perlahan sebelum mengambil tiang infus untuk ia dorong menuju sofa. Karena malas, Alvin memutuskan untuk duduk di sofa saja. Lagipula kakinya masih terasa ngilu jika ia gunakan untuk berjalan.
Tayangan sonic menjadi fokusnya kali ini. Makhluk berwarna biru yang menggelinding bagai bola dihutan rimba. Entahlah, kartun aneh yang tidak bisa Alvin pahami karena baru pernah menontonnya sekali.
"Hoam."
Bersandar nyaman pada sofa empuk yang nyatanya lebih nyaman dari ranjang yang Alvin tempati."Selamat sore menjelang petang Alvin. Waktunya makan malam ya."
Seorang suster cantik datang membawa troli berisi makanan dan minuman, sepiring potongan berbagai macam buah segar pun menjadi pendamping makan malam Alvin."Waduh, Alvin masih kenyang sus. Tadi siang juga makanannya ngga habis, takut mubadzir kebuang lagi."
"Ngga papa dek Alvin. Nanti sisa makanannya bisa buat makan hewan ternak kok, jadi ngga kebuang. Biasanya ada peternak bebek yang ngambil sisa."
Ujar perawat tadi sambil menaruh baki makanan di atas meja nakas samping ranjang."Bentar lagi dokter susan dateng mau ganti perban dikaki Alvin. Jangan nangis lho ya kayak kemarin. Alvin imut kalo lagi nangis, mirip dede bayi." Suster pengantar makanan itu terkekeh mendapati raut wajah Alvin yang berubah cemberut.
Memang dasarnya wajah imut selalu mendominasi ketampanan dari Alvin. Berbeda dari saudara tirinya yang lain, Alvin cenderung kecil dan mungil dari saudara serta ayahnya sendiri."Sus, Alvin kapan boleh pulang ya? Ngga enak sama bos paket. Alvin udah bikin rugi karena kecelakaan. Ini juga biaya rawat gini pasti mahal, Alvin ngga ada duit buat ganti."
"Tenang aja dek, tuan Vincent katanya udah bayar ganti ruginya kok. Terus biaya rumah sakit mah ngga usah dipikir, yang penting dek Alvin sembuh. Lagipula dek Alvin kan anak kandung tuan Vincent."
Otak Alvin mendadak loading, baru sadar jika kini ia telah bertemu dengan ayah kandungnya setelah 15 tahun berlalu.
Sebelum pulang, Alvin menjalani pengecekan guna memastikan dirinya boleh dipulangkan.
Dokter susan meraba dada Alvin menggunakan stetoskop dan bertanya mengenai keluhan yang mungkin terjadi setelah beberapa hari pasca operasi pada Alvin terlewati.
"Masih kerasa nyeri ngga dek? Atau mungkin ada rasa seperti ditekan-tekan gitu?"
Dokter susan bertanya sambil melepas jarum infus dari punggung tangan Alvin, mencoba mengalihkan perhatian Alvin dengan bertanya mengenai keluhan yang mungkin terjadi."Udah lumayan mendingan dok, cuma kadang nyeri kalo keteken."
Jelas Alvin sembari tersenyum menatap dokter cantik yang menanganinya."Kalo dibuat baring miring dadanya sakit ngga?"
Alvin menggeleng."Okey, berarti tidak ada keluhan berat ya? Oh iya, untuk kaki juga hanya pemulihan beberapa minggu. Kaki kanannya jangan banyak gerak dulu ya dek Alvin."
Alvin mengangguk patuh saat dokter susan tersenyum sambil mengusak surai kasarnya karena tidak keramas beberapa hari ini."Nanti malam sudah boleh pulang ya. Kakak tampan yang bakal jemput. Jadi sekarang dokter bantu Alvin beres-beres."
Alvin menurut saja walaupun agak bingung mendengar kakak tampan yang akan menjemput, apakah itu kakak Alvin atau mungkin sopir? Alvin tidak tau apapun mengenai keluarga dan saudara-saudara tirinya. Mereka tidak pernah datang menjenguk. Hanya julia dan Vincent yang rutin bergantian meniliknya dan sesekali menginap untuk menemani Alvin yang sendirian di kamar rawat.Pintu kamar rawat Alvin terbuka dari luar, tampak seorang pemuda tampan dengan tampilan manly mendekat ke arah tempat Alvin duduk.
Dengan tatapan penuh kekaguman Alvin terus menatap wajah kakak tirinya tanpa berkedip."Lo mau pulang ngga?" Suara ketus Steven membuyarkan tatapan Alvin yang semula terpaku pada wajah tampan Steven yang terlihat datar. Kakaknya lumayan seram juga ternyata, mungkin Alvin tidak boleh lambat menanggapi orang modelan seperti kakaknya ini.
"Iya kak."
Cicit Alvin dengan tangan meremas seprai, merasa grogi."Tas lo mana?"
Tanpa menunggu jawaban dari Alvin, Steven sudah lebih dulu mengambil tas gendong kecil milik Alvin dan menyampirkannya pada pundak kanannya.Alvin langsung turun dari ranjang dan berdiri di hadapan Steven yang memandanginya tajam sedari tadi. Sebelum akhirnya mengikuti langkah lebar Steven di depannya, menghiraukan kakinya yang sakit dengan berjalan tertatih dibelakang. Mencoba mengimbangi langkah lebar Steven sambil sesekali mendesis kala rasa nyeri tidak bisa ia tahan.
Dalam hati Alvin berdoa agar kakak tirinya mau membantunya berjalan, tapi sepertinya mustahil melihat kakak tirinya yang sepertinya memang tidak menyukainya.▀▄▀▄To Be Continued▄▀▄▀
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVIN PARKER (END)
FanficFamily Brothership Alvin dan kesehariannya dengan keluarga Parker yang menganggapnya seperti bayi. "Cup cup cup. Udah ah nangisnya. Besok ayah beliin motor matic kalo adek nurut hm?" "Janji?" Tanya Alvin sembari mengelap air matanya menggunakan len...