4. Jangan Ngebut Kak

1.4K 119 6
                                    

Sorry for typo...






Gerry dan Rafiv itu anak kembar tidak identik. Mereka berdua memang tidak memiliki kemiripan khusus, hanya memiliki jenis kelamin yang sama dan lahir dari rahim yang sama dengan selisih lahir 5 menit.

Mereka berdua berbeda, namun saling melengkapi. Jika Gerry kesulitan maka Rafiv akan datang membantu, begitupun sebaliknya. Rafiv memang cenderung lebih dewasa jika dibandingkan dengan Gerry yang lahir lebih dulu. Tapi mereka selalu menolak jika dibandingkan, mereka menganggap diri mereka berdua itu all in two. Semuanya lengkap jika berdua.

"Waa, bunda masak banyak nih. Mau ada tamu apa bun?" Gerry berceletuk menuju dapur.

"Arisan ibu-ibu pasti."
Rafiv mencoba menebak.

"Tenang, ngga ada acara arisan kok. Hari ini kan adek bungsu kalian pulang dari rumah sakit. Bunda lagi membuat sambutan istimewa."

Julia dengan semangat membuka tutup panci. Aroma bumbu rendang menguar di seluruh penjuru dapur menghasilkan rasa lapar yang tiba-tiba datang.

"Waa, bunda masak rendang ya?"
Devran muncul ke dapur setelah mendeteksi bau-bau rempah yang berasal dari dapur.

"Iya nih. Coba cicip deh, bunda mau nyiapin jus jeruk dulu."
Julia menyuruh anak-anaknya mencicip rendang buatannya.

"Pas ngga rasanya? Udah bunda masak 5 jam an ini. Empuk kan dagingnya?"
Devran mengangguk mantap, mengambil pisin dan menyendok rendang di panci untuk ia makan.

"Aduh, jangan dijambal devran, itu buat lauk makan."
Julia berkacak pinggang menatap ketiga anaknya yang malah memakan rendang tanpa nasi. Ketiganya hanya menyengir sambil tetap memakan rendang yang masih mengepulkan asap itu.

"Ibu minta tolong taruh di mangkok besar ya."










🄰🄻🅅🄸🄽

Alvin meringis malu saat Steven tanpa aba-aba menggendong tubuhnya ala bridal style. Berhubung koridor rumah sakit sedang ramai pengunjung karena waktu jam besuk dan juga melihat Alvin yang beberapa kali tersandung bahkan beberapa kali hampir menabrak pejalan lain membuat Steven geram. Raut wajah Steven mengeras saat menyentuh langsung tubuh adik tirinya yang begitu ringan dalam gendongan.

Alvin sendiri, tersenyum tipis. Merasa senang sekaligus malu secara bersamaan, mengingat tadi kakak tirinya menariknya ke samping sebelum akhirnya menggendong Alvin dengan begitu mudah. Mungkin jika tadi Steven tidak menghampirinya, Alvin sudah jatuh ke lantai karena ada brankar pasien berderak cepat di koridor membawa pasien gawat darurat. Alvin yang berjalan lambat hampir saja tertubruk rombongan perawat tadi.

Tidak butuh waktu lama, Alvin sudah di dudukkan di atas jok motor Dodge Tomahawk V10 Superbike warna hitam. Moge termahal yang Steven beli saat kelulusan kuliah S2 nya di California. Benar-benar motor idaman, namun bagi Alvin tidak. Alvin tidak suka motor besar berjok minim seperti ini. Alvin masih trauma dengan kecelakaan yang menimpanya, ditambah sekarang ia duduk di jok motor tinggi seperti ini memicu ketakukan jika tiba-tiba terjatuh dan terhempas ke aspal. Alvin masih sayang nyawa.

"Lo ngga punya jaket?"
Steven bertanya lebih dulu sebelum menaiki motornya. Tapi yang ditanya malah diam melamun membuat Steven berdecak.

Steven langsung melepas jaket miliknya dan tanpa meminta izin langsung memakaikan jaket miliknya ke tubuh kecil Alvin.
Alvin sempat tersentak kaget, namun mencoba terlihat biasa saja.

"K-kak.."
Alvin mencicit takut-takut melihat Steven hanya memakai kaos oblong yang bahkan dibeberapa sisi terlihat bolong, Alvin merasa tidak enak karena seharusnya Steven yang memakai jaket.

"Sst, bisa diem?"
Steven berbisik dengan dingin sebelum menaiki motor dan menjalankan motornya dengan kecepatan penuh. Membuat Alvin mau tak mau terpaksa menempelkan tubuhnya pada punggung Steven.
Jantung Alvin berdebar kencang saat berkali-kali Steven menyalip diantara mobil-mobil besar. Mungkin jika Alvin memiliki riwayat penyakit jantung, maka Alvin sudah pingsan dijalan.

Tanpa menghiraukan rasa malu dan canggung, Alvin memeluk badan kekar sang kakak untuk mendapat kenyamanan. Tidak peduli jika ia terlihat seperti gadis yang tengah berpacaran, yang penting Alvin tidak terjengkang ke belakang.

Sedangkan pembawa motor itu sendiri dalam hati tertawa puas, menertawakan Alvin yang ketakutan saat Steven membawa motornya dengan kecepatan hampir 80km/jam membuat motor terasa seperti akan melayang karena jalanan terlihat blur.

Alvin berdoa sepanjang jalan sambil menutup mata hingga tidak butuh waktu lama mereka telah sampai di rumah kediaman Vincent tanpa kendala sedikitpun. Alvin bernapas lega untuk itu.







"Alviin, ayo masuk nak."
Julia bergegas menyambut Alvin di halaman depan. Menuntun Alvin masuk ke dalam rumah dan menyambutnya di ruang makan dengan berbagai hidangan yang tersaji rapi.

"Bunda panggil kakak-kakak dulu ya. Alvin tunggu di sini."
Alvin mengangguk dan menurut untuk duduk di kursi. Memandang kagum kesekeliling rumah barunya, melihat berbagai macam makanan yang tersaji juga membuat Alvin semakin yakin jika ia masuk ke rumah keluarga konglomerat dan Alvin bersyukur atas itu.
Setidaknya sang ayah selalu dalam limpahan nikmat, tidak seperti Alvin dan ibu kandungnya yang hanya sebatang kara. Tinggal dilingkungan kumuh yang bahkan untuk mencari air bersih dan makanan pun perlu kerja ekstra terlebih dahulu. Ekonomi yang sulit dengan lilitan hutang yang tiada henti karena bunga yang bertambah setiap bulannya membuat Alvin bahkan tidak mampu mencicil hutangnya meskipun sudah hidup dengan irit seirit-iritnya.

Meninggalnya sang ibu pun tidak meninggalkan warisan sama sekali. Hanya baju-baju lusuh di lemari yang sudah reyot dimakan rayap. Mengingatnya membuat Alvin sedih, ia bahkan belum sempat membahagiakan sang ibu sebelum akhir hayatnya.
















▀▄▀▄To Be Continued▄▀▄▀

Lanjutkah?

ALVIN PARKER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang