27. Hadiah Dari Ayah

743 80 12
                                    






Alvin menunduk. Menerima wejangan-wejangan dari keluarganya dirumah. Terutama Ayah dan abang sulungnya yang tampak marah besar padanya. Sejak sampai rumah pun Alvin kena omel, Steven saja mencekal pergelangan tangan Alvin terlalu erat dan dengan kasar menariknya masuk ke dalam rumah.

Ah, kini ia tau alasannya dimarahi setelah melihat wajah bundanya tampak sembab dengan tangan yang memeluk erat tas gendong milik Alvin. Yang pasti, Fahri sudah datang kesini sebelumnya membawakan tas Alvin yang tertinggal disekolah dan mungkin menceritakan perihal ia yang mendadak hilang setelah jam istirahat.

"Kata Steven kamu kerja? Iya?"

Vincent bertanya dengan nada tegasnya yang belum pernah ia tunjukkan pada Alvin. Mungkin terdengar menakutkan bagi Alvin saat suara berat itu merendah. Semakin membuat nyali Alvin menciut untuk mengungkapkan alasannya bekerja. Alhasil bocah itu hanya diam membisu, seperti akan mengungkap sesuatu tapi kembali tertelan.

"Jawab Vin!"

Steven yang sudah sangat geram sengaja menyenggol bahu Alvin disampingnya. Membuat luka terjatuh tadi kembali terasa nyeri untuk Alvin.

"Ayah.. A-ku-"

Ucapannya tertahan saat Ayahnya menarik telapak tangannya dan meletakkan kartu berwarna hitam dengan logo bank.
Sebuah blackcard yang sudah Vincent buat untuk anaknya dan isinya pun sama banyaknya dengan kakak-kakaknya yang lain, kecuali Steven yang memang sudah menghasilkan uang sendiri.

"Jangan kerja-kerja lagi. Kamu masih kecil. Jadi kalo ada butuh apa-apa jangan sungkan kasih tau ayah ya?"

Alvin diam karena bingung merespon. Mau menolak tapi ayahnya ini dengan senang hati memberinya blackcard secara cuma-cuma demi anaknya kecukupan. Padahal maksud Alvin bekerja sendiri bukan seperti itu. Alvin malah semakin merasa tidak enak dengan keluarganya. Merasa menjadi beban yang merepotkan banyak orang.
Tanpa sadar air matanya mengalir begitu saja.

"Eh, kok malah nangis?"

Vincent yang melihat anak bungsunya tiba-tiba menangis menjadi gelagapan. Dengan gerakan kaku ia memeluk Alvin dan mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

"Makanya jangan galak-galak yah. Ayah kalo marah kan suka nakutin, adek sampe trauma ntar dideketin."

Celetuk Gerry yang sejak tadi menonton Ayahnya marah-marah.

"Cup cup cup. Udah ah nangisnya. Besok ayah beliin motor matic kalo adek nurut hm?"

Vincent menawari motor baru pada anak bungsunya. Yang otomatis membuat tatapan orang-orang sekitar geram ingin membantah.

"Janji?"

Tanya Alvin sembari mengelap air matanya menggunakan lengan tangan. Menatap langsung kedua mata ayahnya dengan binar mirip kucing.

"Janji dong. Adek mau motor yang gimana? Nmax mau? atau mau motor ninja? atau mau mobil aja? Boleh banget."

Bunda yang mendengar suaminya berceloteh mirip sales itu berubah masam. Apa-apaan mau biarin anak bayi bawa motor, Julia bahkan ragu jika kaki Alvin tidak kuat menopang motor. Takut terjatuh la, kecelakaan ini itu, apalagi kalo sampai buat balapan.
Julia memang sudah berpikir terlalu jauh, padahal Alvin sudah wajar memiliki kendaraan sendiri. Mengingat teman-teman Alvin sebagian besar berangkat sekolah menggunakan kendaraannya masing-masing. Mungkin di dalam kelas hanya ada dua tiga anak yang masih diantar orang lain ke sekolah. Dan sejujurnya itu semua merepotkan, mulai dari menunggu jemputan, mau main harus ijin, pokoknya kurang bebas, apalagi Alvin anak cowo.

Ya, untungnya Vincent juga tidak bercanda mengenai ia yang akan membelikan motor untuk anaknya ini. Lagipula anak-anaknya yang lain juga memakai kendaraan pribadi, mungkin hanya Alvin yang diperlakukan berbeda dari abang-abangnya. Lebih ketat karena mereka begitu menjaga dan menyayangi yang paling kecil dikeluarganya.





















🄰🄻🅅🄸🄽

Alvin mengawali paginya penuh senyuman. Rasa perih langsung terasa saat ia tersenyum terlalu lebar. Tidak ingat kemarin ia sempat dipukul oleh Galand karena terlalu semangat menyambut motor baru.

Walaupun bekas pukulan Galand kemarin masih terasa nyeri dan bahkan meninggalkan jejak keunguan diwajah tampannya, tapi tidak papa. Pagi ini ia sudah mandi dan menutupi kulitnya menggunakan foundation mahal yang ia beli kemarin. Semoga saja si tidak luntur saat terkena keringat.

"Aww, so handsomee..."

Tingkat kepercayaan dirinya akan meningkat drastis saat tengah berkaca sendirian di dalam kamar. Melatih ekspresi wajah sambil mengecek seluruh bagian wajahnya yang memang tampan sejak lahir.
Tidak diragukan lagi jika Alvin memang keturunan asli Vincent Parker, mukanya benar-benar duplikat versi imutnya.

Dengan rasa puas Alvin mulai menggendong tasnya dan turun ke bawah untuk sarapan. Langkahnya sangat ringan karena terlalu bahagia. Semoga saja ayahnya itu tidak bercanda soal motor baru. Mengingat semalam ia mendapat pendapat pro kontra dari bunda dan abang-abangnya.

Langkahnya terhenti saat merasakan pandangannya seperti berputar membuatnya reflek berpegangan pada pegangan tangga dan berkedip beberapa kali. Kakinya mendadak lemas saat ini. Alvin pun berakhir berjongkok karena takut jatuh.

Setelah sekitar 2 menitan, pandangannya kembali normal dan Alvin langsung beranjak berdiri perlahan dan lanjut turun ke bawah. Untung saja tidak ada yang melihat, batin Alvin bersyukur. Walaupun ia sempat merasa aneh saat merasakan pandangannya terasa tidak normal. Bahkan awalnya Alvin mengira jika tengah terjadi gempa, tapi tidak mungkin kan kalo gempa hanya kepala saja yang merasakan.



















▀▄▀▄To Be Continued▄▀▄▀

ALVIN PARKER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang