34. Mengetahui Fakta

740 59 15
                                    

Sorry for typo...







Ruangan putih yang tadinya sunyi mendadak menjadi ribut. Alvin sudah mendengar semua penjelasan dokter. Walaupun menggunakan bahasa Inggris, Alvin bisa mengetahui apa yang dikatakan dokter yang memeriksanya tadi pada sang kakak. Alvin sakit parah dan tidak ada seorangpun dari keluarganya yang memberitahunya bahwa ia mengidap tumor otak. Alvin menjadi sangat sedih dan kini anak itu tidak mau di dekati oleh kakak-kakaknya.

"Alvin, maafin abang ya."

Alvin tetap diam. Bahkan semakin terisak dibalik selimut rumah sakit yang menutupi seluruh badannya.

"Vin. Sebenernya kita mau bilang, tapi ayah nyuruh jangan kasih tau."

Gerry berusaha meluruskan. Tapi Alvin masih tetap kesal.

"Aku mau sendiri!"

Dengan suara bergetar Alvin menyuruh semua kakaknya untuk keluar dari ruang rawat. Membiarkan Alvin menangis sendirian didalam.

"Tuh kan, apa gue bilang. Harusnya kita kasih tau Alvin dari awal."

Rafiv memandang saudara kembarnya yang tengah menangis. Gerry merasa paling bersalah karena ikut menyembunyikan fakta mengenai penyakit yang Alvin idap. Merasa sangat menyesal karena Alvin tadi menyuruh mereka keluar. Adiknya itu pasti sangat kecewa.

"Kasian tau. Hiks, anjir gue nangisnya ngga bisa berenti hiks."

Gerry menutupi wajahnya menggunakan  kedua telapak tangan. Malu karena hanya dirinya yang menangis disini.

"Alvin pasti kepikiran."

Devran berceletuk dan menghampiri kursi yang ada di depan kamar rawat untuk duduk. Steven dan yang lainnya pun mengikuti. Mereka duduk bersebelahan sambil merenung masing-masing.




















🄰🄻🅅🄸🄽

Mereka pulang ke Indo lebih awal, karena agenda liburan yang gagal dan adik bungsu mereka juga sedang tidak ingin diganggu.
Beberapa kali Steven merangkul Alvin, tapi selalu ditepis oleh empunya. Alvin malah semakin menjaga jarak setiap kakak-kakaknya mendekat. Padahal beberapa kali Alvin hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan saat berjalan. Alhasil saudaranya yang lain berjalan pelan mengikuti langkah Alvin yang pelan agar sang adik tidak tertinggal.

Adik bungsu mereka sebenarnya sedang kurang sehat. Pagi ini bahkan Devran mendapati wajah Alvin yang pucat pasi saat berganti baju, anak itu menyembunyikan wajah pucatnya dengan mengenakan masker. Tapi tetap saja mata sayunya tidak bisa berbohong. Alvin kelihatan menahan sakit setiap melakukan gerakan seperti berjalan kaki.

Devran yang tidak tahan pun akhirnya dengan lancang membopong Alvin bak membawa pengantin baru menuju hotel. Untung saja Alvin tidak menolak karena tidak ingin membuat keributan di tengah-tengah keramaian dan juga didukung tubuhnya yang terlalu lemas untuk lanjut berjalan. Alhasil Alvin diam saja sambil mencekal jaket bagian depan Devran dengan tangan kirinya untuk berpegangan.

Baru setengah perjalanan Alvin sudah terlelap di dalam gendongan hangat Devran.
Devran itu punya tubuh manly, tidak heran jika adik bungsunya ini merasa sangat nyaman sepanjang perjalanan, apalagi duduk dipangkuan Devran menggunakan mobil. Alvin tidak terusik sama sekali, bahkan sampai kamar pun masih tidur.

Kakak-kakaknya yang lain tersenyum lega karena adik bungsu mereka terlihat tenang, meski mereka merasa sedikit iri karena Alvin hanya mau bersama Devran. Tapi tidak papa selama Devran bisa menjaga Alvin dengan baik. Mereka ikhlas dan lagipula Devran juga adik mereka, mana mungkin mereka cemburu. Berbeda lagi jika itu adalah Alex dan yang lain.

















ALVIN PARKER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang