38. Makan Bersama

498 53 13
                                    


Sorry for typo...

Perjalanan tiga puluh menit yang ditempuh dengan mobil membuat Alvin sedikit kelelahan. Tubuhnya berkali-kali limbung dan Devran berhasil memegang lengannya. Devran sudah berulang kali menyuruh Alvin untuk kembali ke rumah sakit. Namun, Alvin menolak. la bosan dan ingin menghirup udara segar sebentar saja. Meski tidak ke taman bermain, taman bunga, atau rempat-tempat mahal lain, setidaknya Alvin tidak harus bergumul dengan aroma disinfektan.

Setelah melakukan banyak drama dan mengajukan berbagai ancaman pada dokter. Alvin akhirnya diperbolehkan pulang, meski sangat rumit karena kondisinya yang sedang tidak baik.

Baru saja melangkah masuk, bercak darah terlihat mengotori lantai di dekat pintu. Alvin mimisan, tapi ia tidak terlalu pusing. Dirinya masih sanggup berdiri dan sadar.

Devran yang sempat panik, segera mengambilkan tisu untuk mengelap darah yang mengalir dari hidung Alvin. la ambilkan segelas air, memapah Alvin menuju ruang tengah untuk duduk terlebih dahulu. Devran bertekad membawa Alvin kembali ke rumah sakit, tapi lagi-lagi Alvin menolak.

"Habis ini kita ke rumah sakit."

"Bang Dev. Alvin ngga papa, nanti darahnya berenti sendiri. Ngga ada yang salah, Alvin kan cuma mau dirumah. Alvin ngga suka istirahat dirumah sakit."
Alvin menjawab dengan nada sedikit kesal. Mereka tidak tau jika Alvin hanya bertambah pusing saat dirumah sakit, susah tidur dan tidak bisa leluasa menghirup udara segar. Hanya ada aroma obat-obatan yang semakin membuatnya mual.

Alvin menggeser tubuh untuk mendekat pada dinding, lalu menyandarkan punggung. Sebenarnya ia ingin berbaring. Namun, berbaring dalam keadaan mimisan bukan pilihan yang tepat.

Alvin memejamkan mata sejenak. Mengembalikan energinya yang sempat terkuras karena perjalanan tadi.

"Bang Dev. Kira-kira kalo Alvin mati nanti ada yang mau nerima organ-"

"Ngomong gitu sekali lagi, abang kurung dirumah sakit!"
Devran berucap tegas, kedua tangannya mengepal erat setelah mendengar perkataan gamblang adiknya.

Tiba-tiba, Alvin meringis. Memegangi kepalanya, lalu menutup mulut. Perutnya bergejolak. Seperti akan mengeluarkan isinya. Relum sempat Devran bertanya, Alvin berlari ke kamar mandi, lalu memuntahkan isi perutnya ke kloset.

Devran mengikuti, menunggu di depan pintu. Ingin membantu, setidaknya menepuk punggung Alvin agar merasa lebih baik. Namun, ketika ia akan membantu, Alvin malah menolak dan menutup pintu kamar mandi. Setelah beberapa menit, Alvin keluar dengan tampang kacau. Rambutnya berantakan, wajahnya basah. Sepertinya ia mencuci wajahnya setelah muntah. Bajunya sedikit basah juga, bibirnya pucat, tapi tetap berusaha memancarkan senyum.

Devran merasa sangat menyesal karena membantu Alvin membujuk dokter agar bisa pulang. Keputusannya kali ini jelas salah besar. Berniat membawa paksa Alvin kembali ke rumah sakit tapi adiknya ini keras kepala dan sulit. Jika ia memaksa, yang ada malah Alvin semakin bertindak jauh. Gaya bicaranya juga sudah mulai melantur aneh, Devran tidak suka.

"Bang.."
Alvin hendak menolak bantuan Devran. Tapi abangnya ini sudah lebih dulu mengangkat tubuh ringannya ke dalam gendongan dan membawanya ke lantai atas menuju kamar.

"Istirahat, abang temenin."
Devran menyelimuti Alvin sebatas dada dan mematikan AC kamarnya. Sengaja membawa Alvin ke kamar Devran karena Devran ingin tidur bersama Alvin malam ini.

"Makasi bang. Alvin minta maaf ya kalo selama ini ngerepotin, nakal, manja, nyebelin, banyak maunya. Pasti bang Devran suka kesel."
Alvin berucap sambil mengedipkan mata sayunya beberapa kali. Pandangannya sedikit kabur selama beberapa saat.

"Ngga lebaran, ngapa dah minta maaf. Udah, istirahat aja kalo ngantuk dek. Jangan dipaksa melek."

Devran mengusap sisi bibir adiknya yang tersenyum. Merasa gemas sehingga berakhir mencubit pipinya agak pelan.

"Abang mau liat pipi mochi adek balik lagi. Pengin adek cepet sembuh biar bisa jailin bang stev lagi."

Alvin tidak menjawab. Mata sayunya bergerak lambat dan menutup indah dengan napas teratur.

Devran yang melihatnya sempat takut dan memeriksa denyut nadi Alvin yang masih terasa. Takut sekali jika tiba-tiba adiknya pergi tanpa pamit.
Entah kenapa setiap Devran melihat Alvin tertidur, hatinya merasa takut jika Alvin tidak bangun lagi untuk hari esok. Apalagi setelah mendengar dokter menyatakan jika tumor yang ada di kepala Alvin sudah mengganas dan berubah menjadi kanker otak stadium 3. Devran sangat takut sampai ia tidak bisa memikirkan hal lain selain Alvin.

"Adek harus cepet sehat, tambah nakal juga ngga papa."
Devran menangis terisak sambil mengecup tangan adiknya yang tertutup kaos lengan panjang. Terlihat rapuh seperti tidak dialiri darah.















🄰🄻🅅🄸🄽

"Bawang gorengnya banyakin yang."

Steven dan keluarga sedang menikmati soto buatan calon istri Steven. Alya semalam menginap di kediaman Parker. Mengurut punggung dan kepala Alvin menggunakan minyak telon.

"Mba Aya jago pijet, Alvin udah ngga pegel-pegel lagi semalem."
Sibungsu juga sangat antusias. Memuji calon kakak iparnya yang serba bisa. Pagi ini Alvin menunjukkan diri jika ia sudah sangat sehat saat dirumah. Bisa tidur nyenyak dan makan dengan sangat baik.

Julia dan Vincent pun jadi tersenyum lega karena Alvin tidak lagi murung seperti sebelumnya.

"Gerry juga pengin dong mba, dipijitin mba Ayang."

Gerry sebenarnya hanya berniat bercanda, tapi Steven sudah mengeluarkan tanduknya dan bersiap menyeruduk Gerry jika anak itu masih lanjut membuatnya cemburu. 

"Ayo sini, tapi ngga gratis ya dek."

Alya menjawabnya dengan santai. Berbeda dengan Steven yang sudah bersiap meledakkan diri. Memegang garpu erat-erat seperti hendak melemparnya ke udara.

"Kok gitu?" Steven sudah hampir mengamuk. Tapi pergerakannya terhenti saat adik bungsu mereka menjelaskan.

"Cuma bercanda kok bang. Jangan marah ya."

Alvin menarik baju yang Steven kenakan dan menyuruhnya duduk. Amarah Steven pun hilang dalam sekejap, ganti tersenyum dan mengusak rambut Alvin yang sedikit basah karena sehabis mandi.

"Abang ngga marah. Cuma kesel aja sama Gerry."

"Yeuu. Sok kezel kezel."

"Bang Gerry juga jangan ledekin bang Stev. Ntar kalo ngga ada Alvin, siapa yang mau bela?"

Gerry langsung kicep begitu Alvin sudah memberi wejangan. Hatinya tercubit saat Alvin berkata saat dirinya ini tidak ada. Gerry tidak bisa membayangkan akan sesuram apa keluarga mereka tanpa Alvin.

"Emang Alvin mau kemana?"
Gerry bertanya dengan nada sedih, tapi Alvin tidak menjawab. Berpura-pura tidak mendengar dan malah mengalihkan perhatian keluarganya dengan bertanya mengenai soto khas semarang.



























Kali ini ngga ada mimpi-mimpi lagi deh

▀▄▀▄To Be Continued▄▀▄▀

ALVIN PARKER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang