1|| nikah?

987 102 19
                                    

Jisoo membeliak,

“APA?! Kenapa harus aku?” Tanyanya tajam.

Ruangan putih yang semula longgar kini terasa sesak. “Kenapa aku yang harus menanggung perbuatan berengsek Bang Jihoon?!”

Membisu.

Mendadak tenggorokan Yeji kering, tidak mampu menjawab pertanyaan anak lelakinya itu. Sudah bertahun-tahun mereka berpisah, tentu Yeji sangat rindu dengan anaknya, tetapi bukan seperti ini juga pertemuan yang diinginkan.

Yeji mendesah. “Jisoo…” Panggilnya lembut. “Ibu… tidak tahu lagi harus gimana. Cuma kamu yang sekarang Ibu punya.”

Jisoo memejam. Dia tahu. Ibunya adalah seorang janda dengan dua orang anak. Ayahnya sudah pergi lebih dulu karena penyakit kroniknya. Dan kakaknya, yang kini sedang menjadi bahan diskusi dengan sang ibu, masih terbaring koma.

“Jadi, Abang menghamili anak orang terus membawa kabur untuk menikah paksa tanpa restu orangtua pasangannya?”

Jisoo mengkonfirmasi lagi. Selama pengasingannya, dia benar-benar memutus hubungan dengan keluarga. Sampai dua hari lalu, awalnya Jisoo mendengar berita kejadian kecelakaan seorang putri konglomerat. Dari berita itu dia melihat sosok yang sangat dikenal. Kim Ji Hoon. Yang ikut terkapar. 

Tak kunjung mendapat jawaban, Jisoo bertanya lagi.

“Ibu?! Jawab Jisoo. Aku perlu banyak informasi untuk mempertimbangkan.”

Ucapan Jisoo membuat mata sang ibu berbinar. Kemudian dia meraih tangan anaknya. “Jisoo, kamu benar-benar akan memikirkannya?”

“Tergantung.”

“Tergantung apa?”

Jisoo menatap dalam ibunya. “Apa Ibu benar-benar berpikir ini akan jadi keputusan yang baik? Bang Jihoon masih terbaring koma Bu, bukannya sudah meninggal.” Matanya menyorot kekalutan.

“I-iya...” Jawabnya agak ragu. “Buatlah keputusan ini menjadi yang baik, nak.”

Ada jeda sebelum dilanjutkan, agaknya Yeji ragu harus mengatakannya atau tidak. “Kita… tidak tahu kapan Jihoon bisa bangun lagi. Cedera kepalanya sangat berat.” Ungkap Yeji pada akhirnya.

Jisoo terdiam.

Dia meneliti wajah ibunya yang semakin menua, sedikit ada guratan di pinggir matanya.

Dulu, mata itu selalu menyorotnya hangat. Jisoo paham, kelakuan saudara kandungnya itu memang sudah keterlaluan. Dia pikir, kakaknya akan hidup dengan baik selepas kepergiannya---yang mengalah agar jalan hidup kakaknya itu tidak terhalangi. Tapi tidak demikian.

Sejak kecil, mereka selalu berkompetisi untuk hal apapun. Tidak. Tepatnya, Jihoon selalu menganggap Jisoo sebagai rivalnya alih-alih sebagai seorang adik. Padahal mereka memiliki paras yang serupa rupawan. 

“Ibu, apa tidak ada jalan keluar yang lain?”

Ibunya menggeleng.

“Kamu harus mau melakukan ini, Jisoo. Kim Hyunbin tidak bisa kehilangan putri semata wayangnya. Putrinya bisa depresi kalau kehilangan sosok ayah untuk janinnya. Dia mengancam bunuh diri.”

Jisoo mengeratkan rahangnya. 

“Hyunbin sudah banyak membantu keluarga kita, apalagi saat menyekolahkanmu dulu, Jisoo.” Ibunya mendesah sedih. “Kita… tidak bisa melupakan kebaikan Hyunbin kepada kita.”

Jisoo tidak pernah lupa akan itu.

Tapi, apa harus seperti ini cara membalasnya? Terlalu berat bagi Jisoo. Dia tidak paham dengan jalan pikiran ibunya saat ini. Apakah ibunya itu benar-benar tidak memikirkan dirinya selama ini? Mengapa ibunya sangat berani mempermainkan kehidupan anak-anaknya? Terutama kehidupan Jisoo?

Heal Me | JensooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang