39|| salah genggam

622 107 57
                                    

"Benar bukan sayangku, Jennie?"

Seketika, seluruh tubuh Jennie menegang. Membeku. Seperkian detik, Jennie benar-benar tidak bisa bergerak. Napasnya tercekat. Dadanya semakin sesak.

Dekapan yang tadi sedang ia lepas sekarang benar-benar sudah tidak lagi melingkar. Bahkan sosok itu sudah berdiri mematung sambil mengepal tangan.

"Sayang... Aku merindukanmu dan... anak kita."

Suara Jihoon menggema, tetapi kemudian menghantam Jennie kembali dalam kesadarannya. Ia memejam. Pasrah dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Tepatnya atas pilihannya sendiri.

"Jihoon, aku bilang sabar dulu. Kenapa datang kesini malam-malam begini? Apa kamu sudah lebih baik sekarang?"

Pertanyaan Jennie sontak membuat Jisoo menatap Jennie dengan penuh, mata Jisoo menyipit skeptis atas perasaan tidak enak yang muncul. 

Tetapi tiba-tiba dengan melihat tubuh istrinya yang perlahan menghampiri kakak kandungnya di depan sana, Jisoo terkekeh pelan, disusul tawa renyahnya.

Sementara dengan senang hati, Jihoon merentangkan tangan melihat Jennie yang menghampirinya. Senyum penuh kemenangan terpancar cerah di wajahnya. Malam ini, walaupun sedikit gegabah dari rencana awalnya, Jihoon dengan menggebu akan memulai merebut kembali apa yang seharusnya memang miliknya. 

"Jennie..." Jisoo berusaha memanggil istrinya, tatapan dalamnya menyorot mata Jennie yang... sulit diartikan.

"Ak-aku... bingung dengan situasi ini. Kenapa kamu memeluknya di depan suamimu?"

Jisoo mencoba peruntungannya. Siapa tahu apa yang dilakukan Jennie tadi adalah kekhilafannya. Tidak. Maksudnya. Jisoo tidak ingin menerima kenyataan bahwa Jennie istrinya sudah mengetahui semua ini. Dan mungkin akan meninggalkannya.

Hati Jisoo seperti diremas-remas sekarang.

"Apa? Kenapa malah kamu yang bingung Jisoo? Bukankah aku yang seharusnya bingung dan marah di sini?" 

"Kamu sudah mengetahui semuanya Jennie?"

"Tahu apa?"

Suara dingin Jennie semakin melirih, jika saja tangannya tidak menumpu pada bahu Jihoon, tubuhnya sudah ambruk sejak tadi. Tidak pernah ia melihat raut wajah Jisoo yang begitu terpukul. Hatinya sangat sakit melihat itu, kendati penyebabnya adalah dirinya sendiri.

Sementara Jihoon memilih diam melihat kekalahan sang adik di hadapannya. Bagaimana bisa ia sangat merasa senang melihat penderitaan yang mulai menggerogoti adik satu-satunya itu. Tatapan ketidakberdayaannya benar-benar menyenangkan hati Jihoon. Ditambah lagi, Jennie yang bertindak melebihi harapannya. Semuanya akan berjalan lancar sesuai apa yang diinginkan Jihoon.

"Aku bisa menjelaskan semuanya. Jangan dulu menyimpulkan apapun, Jennie." Getar suara Jisoo terdengar. Tubuhnya perlahan mendekat ke arah Jennie.

"Berhenti! Jangan mendekat, Kim Jisoo." Cegah Jennie. 

"Kumohon..." Suara getar Jisoo memohon. Ia mengabaikan sang kakak yang terus memerhatikannya.

Selangkah lagi, ia bisa meraih istrinya. Namun cekalan kuat Jihoon mengunci gerakan Jisoo. 

"Bukankah istriku memintamu untuk tidak mendekat? Dengar?" Ucap Jihoon dengan menyeringai, tentu menyombongkan kemenangannya.

Tangan Jisoo mengepal seraya memejam. Akankah ia tidak bisa memperjuangkan wanita yang dicintainya? Lihat saja sekarang. Jennie tidak berbicara sepatah kata pun, hanya menatapnya dalam diam.

Jihoon akhirnya beranjak dari kursi roda. Mendorong tubuh Jisoo sehingga menciptakan suara debaman keras.

Entah dorongannya yang terlalu keras atau Jisoo memasrahkan tubuhnya tanpa perlawanan. Sontak membuat Jennie membolakan mata dan mengkhawatirkan kondisi lelaki yang sudah memberinya cinta tulus.

Heal Me | JensooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang